Kamis, 11 November 2010

Wanita: Bintang Terbit di Cina Baru oleh Patti Waldmeier

Wang Jiafen dari Asosiasi Wanita Pengusaha Shanghai
Kurang dari seabad lalu banyak wanita di Cina yang kakinya patah dan terikat sangat ketat sehingga sulit untuk berjalan. Kini tiga wanita terkaya di dunia hasil usaha sendiri adalah dari Cina dan 11 dari 20 wanita milyarder dunia adalah orang Cina.

Dalam banyak cara, mereka berhutang terima kasih pada komunisme. Mao Zedong menjalankan usaha-usaha untuk menjadikan Cina sebuah model global dari kesetaraan gender, dan meskipun gagal dalam banyak hal lainnya, ia secara luas sukses merubah masyarakat Cina menjadi sebuah dunia dimana wanita berpikir bahwa mereka paling tidak sejajar kedudukannya dengan laki-laki - dan tampaknya banyak laki-laki yang setuju.

"Mao berkata, 'Wanita menyangga setengahnya langit,'" kata Rupert Hoogewerf, pendiri the Chinese Rich List (Daftar Orang Cina Kaya), yang awal minggu ini menerbitkan sebuah daftar urut wanita terkaya di dunia hasil usaha sendiri. Ia menempatkan Cheung Yan (Zhang Yin) orang Cina ketua Nine Dragons Paper, sebuah perusahaan kertas daur ulang, di urutan pertama dengan kekayaan pribadi sebesar $5.6 milyar.

"Satu-satunya peninggalan paling positif [dari komunisme di Cina] adalah emansipasi wanita," tulis Nicholas D. Kristof dan Sheryl WuDun dalam buku mereka Half The Sky: Turning Oppression Into Opportunity For Women Worldwide (Setengah Langit: Merubah Penindasan Menjadi Peluang Bagi Wanita Seluruh Dunia). "Satu abad yang lalu, Cina bisa diperdebatkan sebagai tempat terburuk di dunia jika terlahir sebagai perempuan," demikian tulis mereka. Namun seperti Mr Hoogewerf katakan, "kemudian Mao membuka ikatan pada kaki mereka."

Ia melihat alasan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang kompleks yang membikin pengusaha kertas bekas dari Cina lebih kaya dari Oprah Winfrey atau para tetua wanita dari Zara, Gap, Benetton dan Ebay. Namun lebih dari itu ada hubungannya dengan anak-anak - atau kurangnya mereka - para wanita Cina memiliki perbedaan sikap yang mendalam mengenai perawatan anak.

"Di dunia barat dan Jepang, setelah menikah wanita tinggal di rumah untuk merawat anak-anak,  namun di Cina modern tidak demikian," kata Wang Jiafen ketua Asosiasi Wanita Pengusaha Shanghai.

"Wanita tidak akan tinggal di rumah untuk merawat anak-anak. Wanita Cina tidak mau menghentikan karirnya hanya untuk menjadi ibu rumah tangga," katanya.

Ms Wang, 60, sekarang oportunis kapitalis kalangan jetset, telah pensiun dari pekerjaan di sebuah perusahaan milik negara, yang merupakan salah satu perusahaan produk susu terbesar Cina. "Di Cina, kebanyakan wanita bosan berada di rumah: tidak ada yang bisa dikerjakan," katanya.

Banyak wanita barat yang mungkin secara diam-diam setuju dengan pendapat Ms Wang, namun hanya sedikit yang akan mengatakannya secara terbuka. Namun di Cina "tidak ada stigma sosial" terhadap perilaku seperti itu, kata Nandani Lynton dari Sekolah Bisnis Internasional Cina Eropa di Shanghai, yang selama 17 tahun tinggal di Cina.

"Mao membuat perbedaan yang sangat luarbiasa saat ia mengatakan wanita menyangga setengahnya langit, sejak saat itu dianggaplah bahwa seluruh wanita di Cina akan bekerja," katanya. Kemudahan akan tempat perawatan anak sangat membantu: tradisi kakek-nenek merawat cucu, dan kebijakan satu anak di Beijing berarti kakek-nenek menjaga setiap anak - sebuah impian  mustahil bagi wanita pekerja di barat.

Yin Xinyu, wakil presiden Bank Komersil Pedesaan Shanghai, punya tiga penjaga anak, bantuan orangtua dan seorang guru pribadi bagi anak perempuannya di sekolah dasar. "Jadi saya tidak perlu tinggal di rumah," katanya.

Namun profesor Lynton mengatakan tersedianya perawatan anak - apakah kakek nenek atau pusat perawatan anak yang populer di bawah komunisme - baru setengahnya. "Juga lebih kepada pokok persoalan tentang apa yang bisa diterima," katanya. "Wanita Cina tidak punya contoh teladan dari rasa bersalah, sebab bahkan sejak sebelum revolusi, setiap orang yang mampu punya ayi (nanny atau perempuan pembantu)". Budaya tradisional Cina tidak menekankan pentingnya perkembangan masa kanak-kanak awal, jadi wanita Cina tidak merasa bersalah kehilangan tahun-tahun pembentukan anak-anak mereka, tambahnya.

Ms Yin, bankir, mengatakan wanita masa kini bisa memilih antara tinggal di rumah dan bekerja. "Buat generasi lebih tua, tinggal di rumah berarti kegagalan, tapi buat generasi saya tinggal di rumah adalah pilihan pribadi," katanya. "Banyak teman saya yang tinggal di rumah, dan saya iri dengan mereka."

Tapi saat wanita memilih tempat kerja, mereka seringkali terbukti sangat ambisius. Menurut kajian Pusat Kebijakan Kehidupan Kerja (Centre for Work-Life Policy) di New York baru-baru ini, 76% wanita di Cina menginginkan pekerjaan-pekerjaan puncak, dibandingkan dengan hanya 52% di Amerika. Ibu pekerja di Cina "mampu untuk membidik tinggi, sebagian, karena mereka memiliki lebih banyak bahu untuk bersandar dibanding sebaya mereka orang Amerika atau Eropa dalam hal perawatan anak," demikian catatan mereka. Dengan rata-rata waktu kerja 71 jam per minggu, para ibu dari negara tersebut tidak akan mampu mengatasinya tanpa bantuan perawatan anak murah yang melimpah.

Dua faktor lain yang turut andil dalam kesuksesan menakjubkan para pengusaha perempuan di Cina, kata Mr Hoogewerf: satu adalah Revolusi Budaya (pikirkan "gadis besi" Mao di dalam pakaian androgini mereka), dan lainnya adalah ekonomi.

Menurut Ms Wang bangkitnya perekonomian Cina telah mengangkat seluruh perahu, namun perahu yang dikemudi perempuan memiliki tarif yang lebih baik. "Seribu tahun lalu, hanya laki-laki yang bisa berkompetisi satu sama lain, tapi dalam  perang ekonomi, anda membutuhkan kepandaian disamping kekuatan fisik. Perkembangan ekonomi Cina yang kuat telah membantu menciptakan peluang bagi wanita."

Ms Yin bahkan memiliki penjelasan yang lebih bikin penasaran tentang kesuksesan para gadis: guru sekolah di Cina menyediakan hadiah bagi anak-anak penurut, dan anak perempuan adalah murid yang penurut. "Para gadis selalu dipuji di sekolah, dan hal tersebut memupuk rasa percaya diri mereka," katanya, mencatat "kepercayaan diri sangat penting bagi seorang pengusaha".

Tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut, Cina masih belum menemukan formula bagi kesetaraan jender yang sempurna. Di banyak daerah pedesaan, anak laki-laki lebih disukai dibanding anak perempuan,  yang menyebabkan tingginya tingkat aborsi ilegal (namun masih banyak didapati) pemilihan jender. Pada masyarakat tradisional Cina, anak-anak laki diharuskan merawat orangtua mereka di usia lanjut, dan para isteri diharapkan merawat mertua - bukan orangtua kandung. Di dalam masyarakat dengan jaring sosial lemah bagi manula, hal ini menyebabkan kuatnya kesukaan terhadap anak laki-laki di wilayah-wilayah yang lebih tradisional.

Namun urbanisasi telah secara nyata mengikis kecenderungan tersebut juga, banyak keluarga yang tinggal di perkotaan mengatakan mereka lebih menyukai anak perempuan karena mereka tetap merawat orangtua di usia lanjut mereka sementara laki-laki mungkin akan lalai - dan semakin bertambah karena mereka lebih murah untuk dibesarkan dibanding anak laki-laki, yang diharapkan menyediakan sebuah rumah setelah menikah, sebuah beban mengingat harga property yang tinggi.

Menggemakan keluhan umum dari para wanita di seluruh dunia, Ms Yin mengatakan bahwa kesetaraan di tempat kerja ada hanya setelah wanita membuktikan bahwa mereka tidak hanya setara dengan laki-laki, namun juga lebih baik. "Wanita harus dua kali lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang sama," katanya meskipun ia menekankan bahwa karirnya tidak dirugikan oleh diskriminasi jender.

Akankah daftar orang terkaya dunia tetap didominasi oleh orang-orang Cina dalam satu atau dua dasawarsa ke depan? Ironisnya, kesejahteraan mungkin menyebabkan lebih sedikit wanita di tempat kerja: wanita yang tidak perlu bekerja mungkin akan memilih tinggal di rumah dan, menurut profesor Lynton laki-laki kaya Cina semakin banyak yang menginginkan jenis isteri piala yang tidak bekerja. Namun pengikat kaki tidak akan kembali dalam waktu dekat: kesetaraan jender adalah peninggalan komunisme yang tampaknya akan tetap ada.

Laporan tambahan oleh Shirley Chen di Shanghai


Sumber: Financial Times 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar