Selasa, 31 Mei 2011

Menyukai buat Pengecut. Pilih yang Menyakitkan. Oleh Jonathan Franzen

Dua minggu yang lalu, saya mengganti Blackberry Pearl saya yang berusia tiga tahun dengan Blackberry Bold yang jauh lebih hebat. Tidak perlu bicara, saya terkesan bagaimana teknologi bisa maju begitu pesat hanya dalam waktu tiga tahun. Meskipun saya tidak punya siapa-siapa untuk ditelepon, dikirimi SMS, atau dikirimi surel, saya tetap ingin menimang Bold baru saya dan merasakan kejernihan layarnya, aksi sehalus sutera bantalan sentuhnya, kecepatan responnya yang mengagetkan, grafisnya yang anggun menyenangkan.

Saya, dengan segera, tergila-gila dengan alat baru ini. Saya juga pernah tergila-gila dengan alat lama saya, tentu saja; namun setelah bertahun-tahun pesonanya semakin memudar dari hubungan kami. Saya sudah membangun isu-isu kepercayaan dengan Pearl saya, isu-isu tanggungjawab, isu-isu perbandingan, dan bahkan pada akhirnya, keraguan saya terhadap kewarasan Pearl saya, hingga akhirnya saya harus mengakuinya pada diri sendiri bahwa saya sudah tumbuh melebihi hubungan tersebut.

Apakah saya perlu menunjukkan bahwa - mangkirnya sesuatu yang liar, proyeksi bersifat manusia yang membuat Blackberry lama saya merasa sedih karena berkurangnya cinta saya untuknya - hubungan kami sepenuhnya bertepuk sebelah tangan? Ijinkan saya menunjukkannya bagaimanapun juga.

Mari saya tunjukkan lebih jauh bagaimana kata "seksi" ada dimana-mana untuk menggambarkan model gejet terbaru; dan bagaimana hal-hal yang "keren" banget bisa kita lakukan sekarang dengan alat ini -  seperti menyuruhnya untuk melakukan tindakan dengan perintah suara, atau melakukan hal memekarkan jari-jari tangan iPhone yang membuat gambar membesar - yang akan terlihat, oleh orang-orang yang hidup seratus tahun lalu, seperti mantera magis, sebuah gerakan tukang sihir; dan bagaimana, ketika kita ingin menggambarkan sebuah hubungan erotis yang sempurna, kita bilang, juga, magic.

Biarkan saya melempar ide bahwa, begitu pasar menemukan dan merespon apa yang konsumen paling inginkan, teknologi kita menjadi sangat ahli dalam menciptakan produk yang menghubungkan fantasi ideal kita tentang sebuah hubungan erotis, dimana benda tercinta kita tidak meminta apa-apa dan memberikan semuanya, dengan instan, dan membuat kita merasa sangat hebat, dan tidak melontarkan pemandangan mengerikan ketika benda tersebut digantikan oleh benda yang bahkan jauh lebih seksi dan menyimpannya di dalam laci.

Untuk mengatakannya dengan secara lebih umum, tujuan utama dari teknologi, telosnya techne, adalah untuk menggantikan dunia alamiah yang acuh tak acuh terhadap keinginan kita - dunia angin ribut dan penderitaan dan hati yang bisa hancur, sebuah dunia perlawanan - dengan dunia yang begitu responsif terhadap nyatanya keinginan kita, dengan efektif, perpanjangan diri belaka.

Biar saya beritahukan, akhirnya, bahwa dunia tekno-konsumtif dengan demikian disusahkan oleh cinta sejati, dan bahwa tidak ada pilihan selain balik menyusahkan cinta.

Argumen beladiri pertama adalah untuk mengomersilkan musuhnya. Anda semua bisa menyediakan contoh-contoh favorit, yang paling memuakkan dari mengomersilkan cinta. Contoh dari saya termasuk industri pernikahan, iklan TV yang memunculkan anak-anak kecil imut, atau pemberian mobil sebagai hadiah natal, dan terutama persamaan fantastis perhiasan berlian dengan kesetiaan selamanya. Pesannya, pada setiap kasus, adalah bahwa jika Anda mencintai seseorang belilah barang.

Fenomena yang berhubungan adalah transformasi, sopan-santun Facebook, dari kata kerja "to like" dari sikap akan sebuah tindakan yang Anda lakukan dengan tetikus komputer Anda, akan sebuah pernyataan tegas perasaan pilihan konsumen. Dan menyukai, secara umum, dalam budaya komersil adalah pengganti dari mencintai. Hal yang mencolok dari semua produk konsumen - dan tidak ada yang melebihi peralatan dan perlengkapan elektronik - bahwa mereka didesain untuk sangat bisa disukai. Hal tersebut, nyatanya, definisi dari produk konsumen, kontras dengan produk yang apa adanya dan dimana pembuatnya tidak memperbaikinya agar Anda menyukainya. (Yang terpikir oleh saya di sini adalah mesin jet, perlengkapan laboratorium, sastra dan seni serius.)

Namun jika Anda mempertimbangkan ini dalam hubungan manusia, dan Anda membayangkan seseorang didefinisikan oleh sebuah kenekatan untuk disukai, apa yang Anda lihat? Anda melihat orang tanpa integritas, tanpa pendirian. Pada kasus yang lebih berkenaan dengan penyakit, Anda melihat seorang narsis - seorang yang tidak tahan terhadap hal-hal yang menodai citra dirinya yang menggambarkannya tidak disukai, yang dengan demikian menarik diri dari kontak manusia atau menjadi ekstrim mengorbankan integritas sepanjang bisa disukai.

Namun, jika Anda mendedikasikan keberadaan Anda untuk disukai, dan jika Anda mengambil kepribadian keren apapun yang diperlukan untuk menjadi disukai, disarankan agar keputusasaan Anda untuk bisa dicintai sebagaimana siapa Anda yang sesungguhnya. Dan jika Anda berhasil memanipulasi orang lain untuk menyukai Anda, akan sulit untuk tidak merasa, pada tingkat tertentu, jijik terhadap orang tersebut, karena mereka telah jatuh ke dalam tipu muslihat Anda. Anda akan mendapati diri Anda menjadi penyedih, atau alkoholik, atau jika Anda Donald Trump, mencalonkan diri jadi presiden (kemudian berhenti).

Produk teknologi konsumen tidak akan pernah melakukan hal-hal yang tidak menarik seperti ini karena mereka bukan orang. Namun, mereka adalah, sekutu besar dan pengaktif narsisme. Disamping keinginan besar untuk disukai yang menempel padanya, terdapat keinginan besar untuk terlihat baik oleh kita. Kehidupan kita terlihat jauh lebih menarik ketika disaring oleh antarmuka Facebook. Kita bintang di dalam film kita sendiri, kita dengan tidak putus-putusnya memotret diri sendiri, kita mengklik tetikus dan sebuah mesin menegaskan perasaan hebat kita.

Dan, karena teknologi kita adalah memang hanya perpanjangan diri kita sendiri, kita tidak perlu merasa jijik terhadap termanipulasinya teknologi seperti apa yang kita rasakan terhadap orang sesungguhnya. Ini semua adalah sebuah putaran besar tanpa akhir. Kita menyukai cermin dan cermin menyukai kita. Untuk menjadikan seseorang kawan adalah hanya dengan memasukkan orang tersebut ke dalam ruang pribadi cermin sanjungan kita.

Saya mungkin terlalu keras menekankan kasus tersebut, sedikit. Sangat mungkin, Anda bosan setengah mati mendengar lelaki lekas marah berusia 51 tahun yang tidak punya respek terhadap media sosial ini. Tujuan saya disini terutama untuk mengatur kontras antara tendensi narsis teknologi dan masalah cinta sesungguhnya. Kawan saya Alice Sebold suka berbicara tentang "Turun ke lubang dan mencintai seseorang." Ia punya pikiran kotor bahwa cinta dengan tak terelakkan meludahi cermin harga diri kita.

Fakta sederhana dari ihwal tersebut adalah bahwa mencoba untuk disukai secara sempurna tidak bisa dibandingkan dengan hubungan kasih sayang. Cepat atau lambat, sebagai contoh, Anda akan menemukan diri
Anda dalam sebuah persembunyian, berteriak melawan, dan Anda mendengar kata-kata yang sama sekali tidak Anda sukai keluar dari mulut Anda sendiri, hal-hal yang menghancurkan citra diri Anda sebagai orang yang adil, baik hati, keren, menarik, menahan diri, lucu, orang  yang disukai. Sesuatu yang lebih nyata daripada kemampuan untuk disukai telah muncul dari dalam diri Anda, dan tiba-tiba Anda memiliki kehidupan nyata.

Tiba-tiba ada pilihan nyata untuk dibuat, bukan sebuah pilihan konsumen antara sebuah Blackberry dan sebuah iPhone, namun sebuah pertanyaan: Apakah saya mencintai orang ini? dan untuk orang yang lainnya, apakah orang ini mencintai saya?

Tidak ada hal seperti seseorang yang setiap partikel dari dirinya yang sesungguhnya Anda sukai. Oleh karenanya kata menyukai pada akhirnya adalah sebuah kebohongan. Namun ada hal seperti seseorang yang setiap partikel dari dirinya yang sesungguhnya Anda cintai. Dan hal inilah mengapa cinta merupakan sebuah ancaman eksistensial bagi perintah tekno-konsumtif : mengungkap kebohongan.

Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa cinta adalah hanya tentang perjuangan. Cinta adalah tentang empati tanpa dasar, lahir dari pencerahan hati bahwa setiap bagian dari orang lain sama nyatanya dengan Anda. Dan karena inilah mengapa cinta, seperti saya memahaminya, selalu spesifik. Mencoba untuk mencintai seluruh kemanusiaan mungkin merupakan usaha keras yang bernilai, namun, dalam cara yang lucu, hal itu berpusat pada diri, pada diri kesejahteraan spiritual dan moralnya sendiri. Sedangkan, untuk mencintai orang tertentu, dan untuk mengenali perjuangan dan kegembiraannya sebagaimana milik Anda sendiri, Anda harus menyerahkan sebagian diri Anda.

Resiko besarnya di sini, tentu saja, adalah penolakan. Kita semua bisa mengatasi menjadi disukai sekarang dan kemudian, karena ada semacam kolam besar tak terbatas penyuka potensial. Namun untuk membuka diri Anda sepenuhnya, tidak hanya permukaan yang menimbulkan rasa suka, dan ditolak, bisa menjadi bencana yang menyakitkan. Prospek dari rasa sakit secara umum, rasa sakit kehilangan, putusnya hubungan, kematian,  adalah apa yang membuatnya begitu menggoda untuk menghindari cinta dan tetap tinggal dengan aman di dunia menyukai.

Dan memang rasa sakit menyakitkan namun tidak membunuh. Ketika Anda mempertimbangkan alternatif - sebuah mimpi kecukupan pribadi yang membius, yakin oleh teknologi - rasa sakit muncul sebagai produk alam dan indikator alam dari hidup di dalam dunia yang bersifat melawan. Untuk melalui hidup tanpa rasa sakit adalah dengan tidak hidup. Bahkan hanya untuk berkata pada diri Anda sendiri, "Oh saya akan memulai perihal cinta dan rasa sakit kemudian, mungkin di usia 30-an" adalah untuk menyerahkan diri Anda pada 10 tahun hanya mengisi ruang di atas planet dan membakar sumber-sumbernya. Menjadi seorang (dan saya artikan kata ini dalam pengertiannya yang paling celaka) konsumen.

Ketika saya masih mahasiswa, dan bertahun-tahun setelahnya, saya menyukai dunia alam. Tidak mencintainya, tapi pasti menyukainya. Bisa menjadi sangat cantik, alam. Dan karena saya mencari hal-hal yang salah dengan dunia, saya secara alamiah cenderung kepada lingkungan, karena pastinya ada banyak hal yang salah dengan lingkungan. Dan semakin saya melihat hal yang salah - ledakan populasi dunia, ledakan tingkat konsumsi sumber alam, meningkatnya suhu global, pengotoran laut, penebangan pohon tua terakhir di hutan - semakin marah saya jadinya.

Akhirnya pada pertengahan tahun 1990, saya membuat sebuah keputusan penuh kesadaran untuk berhenti mengkhawatirkan lingkungan. Tidak ada sesuatu yang berarti yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan planet, dan saya ingin melanjutkan dengan mengabdikan diri pada hal-hal yang saya cintai. Saya masih mencoba untuk meninggalkan jejak karbon sedikit saja, namun hal tersebut adalah yang terjauh yang bisa saya lakukan tanpa jatuh kembali ke dalam kemarahan dan keputusasaan.

Namun kemudian hal lucu terjadi pada saya. Ceritanya panjang, namun pada dasarnya saya jatuh cinta pada burung. Saya melakukannya bukan tanpa penolakan yang besar, karena tidak keren amat untuk menjadi pengamat burung. Namun sedikit demi sedikit, tanpa memedulikan diri sendiri, saya membangun kegemaran ini, dan meskipun setengah dari kegemaran ini adalah obsesi, setengah lainnya adalah cinta.

Maka, ya, saya punya sebuah daftar yang sangat teliti dari burung-burung yang pernah saya lihat, dan ya, saya  pergi dalam jarak yang banyak sekali untuk melihat spesies baru. Namun, tidak kurang penting, kapan pun saya melihat seekor burung, burung apa saja, bahkan merpati atau murai, saya bisa merasakan hati saya dilimpahi cinta. Dan cinta, seperti yang saya coba katakan hari ini, adalah dimana masalah kita dimulai.

Karena sekarang, tidak hanya menyukai alam namun mencintai bagian spesifik dan vital darinya, saya tidak punya pilihan kecuali mulai khawatir tentang lingkungan lagi. Kabar di depan tidak lebih baik daripada ketika saya memutuskan untuk berhenti mengkhawatirkannya - malah jauh lebih buruk - namun kini hutan dan tanah dan samudera yang terancam tersebut bukan sekedar pemandangan cantik untuk saya nikmati. Mereka tempat tinggal binatang yang saya cintai.

Dan di sini ketika sebuah paradoks mengherankan muncul. Kemarahan dan rasa sakit dan keputusasaan tentang planet bumi hanya bertambah dengan kepedulian saya terhadap burung liar, dan masih, begitu saya mulai terlibat dengan perlindungan burung dan belajar lebih banyak tentang banyaknya ancaman yang burung hadapi, menjadi semakin mudah, bukan lebih sulit, untuk hidup bersama kemarahan dan keputusasaan dan rasa sakit saya.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya pikir, untuk satu hal, bahwa kecintaan saya kepada burung menjadi sebuah portal untuk sebuah bagian penting dari diri saya yang kurang berpusat pada diri sendiri yang bahkan saya tidak ketahui ada. Bukannya terus mengalir ke depan melalui kehidupan saya sebagai warga global, menyukai dan tidak menyukai dan menahan komitmen saya untuk janji kemudian, saya dipaksa untuk menghadapi sebuah diri yang saya harus menerimanya sama sekali atau menolaknya sama sekali.

Yang cinta akan lakukan pada seseorang. Karena fakta fundamental mengenai kita semua adalah kita hidup untuk sementara namun akan mati tidak lama lagi. Fakta ini adalah akar sesungguhnya yang menyebabkan seluruh kemarahan dan rasa sakit dan keputusasaan kita. Dan Anda bisa lari dari fakta ini, atau dengan cara cinta, Anda bisa memeluknya.

Ketika Anda tinggal di kamar dan marah atau menyeringai atau mengangkat bahu, seperti yang saya lakukan bertahun-tahun, dunia dan masalahnya tidak mungkin mengecilkan hati. Namun ketika Anda pergi keluar dan membuat hubungan nyata dengan orang-orang yang nyata, atau bahkan binatang nyata, ada sebuah bahaya sangat nyata yang beberapa darinya mungkin Anda cintai.

Dan siapa tahu hal tersebut akan terjadi pada Anda nanti?

Jonathan Franzen adalah penulis, karyanya yang terkini, adalah "Freedom". Esai ini disadur dari sebuah pidato pembukanya pada tanggal 21 Mei di Kenyon College.

Sumber: Halaman opini The New York Times

Tidak ada komentar:

Posting Komentar