Selasa, 04 Oktober 2011

Psikopati: Menantang Secara Sosial

Main kartu sebelum makan malam?
Psikopati kemungkinan disebabkan kekurangan mental tertentu.

Apa yang membuat seseorang menjadi psikopat bukanlah pertanyaan tak beralasan. Penjara dipenuhi oleh mereka. Demikian pula, menurut sebagian orang, ruang-ruang rapat. Kombinasi dari kecenderungan untuk mengambil risiko secara impulsif dengan kurangnya rasa bersalah dan malu (dua karakter utama psikopati) bisa mengarah, tergantung keadaan keuangan, pada karir kriminal atau karir bisnis. Yang telah menimbulkan perdebatan apakah fenomena tersebut merupakan penyimpangan, atau apakah atas nama seleksi alam, paling tidak, ketika hal tersebut langka di masyarakat. Ruang rapat, pada akhirnya, adalah tempat di mana kita ingin berada – dan sebelum ditemukannya penjara, bahkan kejahatan mungkin seringkali dibayar.

Untuk memberi penjelasan terhadap pertanyaan ini Elsa Ermer dan Kent Kiehl dari Universitas New Mexico, Albuquerque, memutuskan untuk menguji perasaan moral dan perilaku berisiko mereka secara agak lebih jauh. Hasilnya tidak membuktikan bahwa psikopati dapat menyesuaikan diri, namun mereka menyimpulkan psikopati tergantung pada mekanisme tertentu (atau, lebih pada kurangnya mekanisme tertentu). Kekhususan semacam itu seringkali merupakan hasil dari evolusi.

Jerih payah masa lalu telah menetapkan bahwa psikopat memiliki tingkat kecerdasan normal (jarang ada yang sejenius Hannibal Lecter). Mereka juga kekurangan rasa bersalah dan malu yang tampaknya muncul dari kurangnya pemahaman tentang benar dan salah. Tanyakan kepada seorang psikopat apa yang akan mereka lakukan pada situasi tertentu, dan biasanya ia akan menjawab seperti apa yang nonpsikopat akan jawab dan anggap benar. Hanya saja ia kelihatannya tidak terikat untuk bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut.

Dr Ermer dan Dr Kiehl curiga alasannya mungkin bahwa, meski psikopat mampu memberi jawaban yang tepat ketika dihadapkan pada soal moral, mereka tidak mendapatkan jawaban ini melalui proses psikologis normal. Secara khusus, kedua peneliti pikir psikopat kemungkinan tidak memiliki pemahaman naluriah tentang kontrak sosial – peraturan yang menentukan kewajiban – yang dimiliki orang lain. Untuk menguji ide ini, seperti yang mereka laporkan di Psychological Science, mereka menggunakan permainan yang disebut Tes kartu Wason.

Bermain sesuai aturan
Kebanyakan orang mengerti kontrak sosial secara intuitif. Mereka tidak perlu memberi alasan. Tes Wason merupakan sebuah cara yang baik untuk menunjukkannya. Mengemukakan dua soal yang sama secara logis, yang satu mengajukan sesuatu yang bersifat umum dan lainnya berhubungan dengan kontrak sosial.

Contoh, penyajian pertama bisa empat kartu, masing-masing dengan satu angka di salah satu sisinya dan sebuah warna di sisi yang lain. Kartu-kartu tersebut ditaruh di atas meja dan menunjukkan 3, 8, merah dan cokelat. Peraturan untuk diujikan adalah: “Jika sebuah kartu menunjukkan angka genap di satu sisi, maka sisi lainnya berwarna merah.” Kartu mana yang perlu Anda balik untuk mengetahui bahwa peraturannya telah dilanggar?

Kedengarannya mudah, namun kebanyakan orang salah mengerti. Sekarang pertimbangkan soal ini. Peraturan untuk diujikan adalah: “Jika Anda meminjam mobil, maka Anda harus mengisi bensin.” Sekali lagi, Anda ditunjukkan empat kartu, satu sisi menunjukkan yang meminjam atau tidak meminjam mobil dan yang lain apakah orang tersebut mengisi atau tidak mengisi bensin:

David tidak meminjam mobil
Helen meminjam mobil
Rina mengisi bensin
Kiki tidak mengisi bensin

Sekali lagi, juga, Anda harus memutuskan kartu mana yang harus dibalik untuk melihat jika peraturannya telah dilanggar. (Pada kedua kasus kartu nomor dua dan empat yang perlu dibalik.)
Dalam hubungannya dengan logika formal, soalnya sama. Namun kebanyakan orang menganggap soal kedua lebih mudah dibanding yang pertama

Orang normal secara sama terbiasa pada pertanyaan berisiko (“Jika Anda bekerja dengan pasien TBC, maka Anda harus memakai masker,” sebagai contoh), dan tes Wason menunjukkan hal ini juga. Namun masalahnya bukan tentang soal yang diajukan dengan bahasa wajar. Kalimat deskriptif yang bukan tentang kontrak sosial atau risiko (“Orang California adalah pasien; Joni adalah pasien, dll.”) sama sulitnya untuk dihadapi orang normal sebagaimana angka dan warna.

Dr Ermer dan Dr Kiehl ingin tahu bagaimana psikopat akan melakukan tugas ini. Untuk mengetahuinya, mereka merekrut 67 narapidana dan menguji kadar psikopati mereka. Sepuluh orang adalah murni psikopatik. Tigapuluh nonpsikopat. Sisanya berada di tengah-tengah. Saat kedua peneliti memeriksa kemampuan narapidana pada tes umum, mereka menemukan bahwa psikopat melakukan dengan sama baik – atau sama jelek, jika Anda suka – dengan orang lain. Dalam hal ini angka rata-rata untuk semua adalah mendapatkan jawaban benar sekitar lima kali dalam waktu tertentu. Untuk soal tentang kontrak sosial atau pertanyaan menghindari risiko, secara kontras, nonpsikopat menjawab benar 70%. Psikopat mendapat nilai jauh lebih sedikit – sekitar 40% - dan mereka yang berada di tengah skala psikopati menghasilkan angka di antara keduanya.

Tes Wason mengajukan bahwa menganalisa kontrak sosial dan risiko adalah apa yang disebut oleh psikolog evolusioner sebagai modul kognitif – mengelompokkan adaptasi mental yang bertindak seperti organ tubuh di mana mereka mengkhususkan diri pada tugas tertentu. Hasil baru ini menyimpulkan bahwa pada psikopat, modul tersebut telah padam.

Penelitian lebih lanjut akan dibutuhkan untuk melihat bagaimana sesungguhnya modul risiko dan kontrak sosial yang menentukan psikopati diatur. Namun fenomena lain yang tampak seperti penyakit diketahui terpelihara oleh seleksi alam. Anemia sel-sabit, disebabkan oleh gen pelindung yang melawan malaria, merupakan contoh paling terkenal. Psikopati mungkin akan menggabungkan diri.

Terjemahan dan gambar dari The Economist

Artikel terkait: Psikopat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar