Selasa, 25 Januari 2011

Merokok atau Tidak Merokok?

Lidah Tak Bertulang: Seperti banyak hal lainnya, merokok atau tidak merokok adalah pilihan. Yang bisa jadi betul berlaku bagi manusia dewasa yang mampu berpikir jernih dan mandiri, yang bisa membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang merugikan. Namun tidak ada pilihan bagi mereka yang kecanduan (disadari atau tidak, karena banyak yang ngeles mereka bukan pecandu, hanya penikmat), mereka tidak mampu memilih tapi dengan senang hati harus dan atau terpaksa merokok (habis enak sih).

Namun juga tidak bagi orang-orang muda atau remaja yang masih dalam tahap tumbuh dan berkembang mental dan fisik, masih mencari jati diri, masih sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan pergaulan. Sebagian remaja mungkin merasa terpaksa merokok karena teman-teman dalam pergaulannya merokok, karena kebanyakan remaja memiliki keinginan dan kebutuhan untuk diterima dan menjadi bagian dari kelompok teman sebayanya (dengan cara berperilaku dan memiliki kebiasaan sama dengan teman-temannya). 

Kalaupun tidak terpaksa, bisa juga dipicu oleh rasa keingintahuan yang besar, yang merupakan kondisi biasa pada anak remaja, atau mungkin karena remaja punya keinginan memberontak dari banyak tuntutan dan tekanan orangtua atau orang dewasa lain, atau karena terpengaruh iklan rokok yang gencar lewat berbagai media, pengaruh film maupun tokoh idola yang perokok, akses terhadap rokok yang sangat mudah, contoh dari orangtua yang perokok, kurangnya informasi tentang bahaya merokok (bukan sekedar informasi di bungkus rokok), serta banyak sebab lainnya. Maka sangat penting untuk berdialog dengan remaja dan memperbaiki kualitas komunikasi sehingga informasi tentang bahaya merokok bisa tersampaikan dan segala kegalauan mereka bisa disalurkan pada tempat yang tepat. Sesungguhnya saya sedang berbicara kepada diri sendiri karena saya dititipi (Tuhan) seorang anak yang kini remaja dan merokok. Dan hal ini juga yang jadi motivasi terbesar saya untuk berhenti merokok. Tidak lucu kan kalau saya melarang anak merokok sementara saya sendiri perokok?

Kedua orangtua saya dulu juga merokok. Saya dibesarkan pada jaman dimana kesadaran akan kesehatan belum terlalu tinggi kalau tidak bisa dibilang rendah. Jadi sewaktu saya mulai merokok, sekitar usia 9 atau 10 tahun (waktu itu masih duduk di bangku SD!), saya sungguh tidak tahu bahayanya. Saat itu saya belum bisa dibilang pecandu rokok, hanya momen pertama kalinya menyulut dan menghisap rokok (mungkin juga tidak sampai satu batang).  Waktu itu saya ketahuan oleh beberapa kakak kelas laki-laki, yang langsung mengolok-olok dan mengejek. Rasanya malu sekali! Dan kapok.

Namun rasa kapok itu terlupakan. Di bangku SMP atau SMA, saya mulai coba-coba merokok lagi tapi tidak sampai kecanduan, maklum masih sembunyi-sembunyi dan rokoknya pun hasil mencuri dari kamar kerja bapak. Sungguh perbuatan yang sebetulnya malu saya buat mengungkapkannya, tapi demi kebaikan, tak apalah. Kebiasaan rokok semakin parah dan saya masih belum sadar juga akan bahayanya.

Kecanduan rokok semakin kuat mencengkeram saat saya mulai kerja dan menghasilkan uang sendiri. Kemudian jaman berubah, kini sudah era informasi dimana informasi tentang apapun termasuk bahaya merokok sangat mudah didapatkan dan merokok bukanlah lagi perilaku yang populer terutama di kalangan manusia yang mengaku cerdas, modern dan berpendidikan. (walaupun saya tidak cukup berpendidikan dan tidak cukup modern apalagi cerdas). Bahkan negara maju seperti Kanada memprediksikan, pada tahun 2050 di negara tersebut perokok akan punah, dalam artian tidak akan ada lagi rakyatnya yang merokok mulai tahun tersebut berdasarkan data yang menunjukkan penurunan jumlah perokok setiap tahun.

Secara bertahap saya mulai mengurangi rokok. Yang tadinya beli bungkusan jadi beli ketengan, yang tadinya dua batang sehari jadi sebatang. Kemudian sebatang dalam beberapa hari, sebatang dalam beberapa minggu, sebatang sebulan, hingga akhirnya stop sama sekali mulai di sekitar tahun 2009. Syukurlah. Kuncinya niat yang bulat. Harus sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Tanamkan dalam pikiran tentang semua kejelekan merokok (kulit dan bibir kering, gusi dan bibir hitam, wajah tidak fresh, nafas bau, dll.), belum lagi kalau ingat penyakit-penyakit seram akibat rokok (kanker paru-paru, kanker mulut, serangan jantung, impotensi, katarak, dll.), lalu bagaimana kalau kita mulai berhitung berapa rupiah uang yang bisa kita hemat bila berhenti (beli) rokok? Yang saya rasakan, semakin sedikit menghirup asap rokok, semakin saya tidak menginginkannya.

Sewaktu masih merokok, dada rasanya sesak, belum lagi tenggorokan sering gatal bikin batuk berdahak. Sekarang setelah berhenti rasanya bernapas jadi lega, makan jadi lebih enak, tidur jadi lebih nyenyak, tidak sakit kepala lagi seperti waktu masih merokok. Tidak ada yang patut disesali karena berhenti merokok, kecuali berat badan yang nambah (tapi tidak banyak hanya 2 - 3 kg, jangan khawatir, malah jadi kelihatan tambah segar lagi ;)). Namun yang paling penting, sekarang saya bisa melarang anak saya merokok karena merokok memang sungguh betul merugikan kesehatan. 

Bagi saya, segala bukti yang diberikan ilmuwan tentang bahaya merokok terhadap kesehatan mengkonfirmasi pengalaman saya. Tentang motif dibalik kampanye anti rokok yang gencar demi untuk menguntungkan produsen obat-obatan atau motif politis lainnya, mungkin saja, tapi untuk apa kita bahas lebih lanjut bila alasan kesehatan saja sudah cukup untuk mendukung kampanye anti rokok. Saya hanya bisa merasakan perbedaannya sebelum dan sesudah berhenti merokok terhadap kesehatan secara umum. Dan saya bersyukur memilih untuk tidak merokok.

Di bawah ini adalah video cara berhenti merokok dengan Emotional Freedom Technique  (EFT), untuk praktek jangan lupa pause dulu mixpod-nya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar