Kamis, 12 September 2013

Nasionalisme

Istilah "nasionalisme" secara umum digunakan untuk menggambarkan dua fenomena (1) perilaku yang dimiliki anggota sebuah bangsa ketika mereka peduli dengan identitas kebangsaannya, dan (2) perbuatan yang dilakukan anggota sebuah bangsa untuk mencapai (menopang) penentuan nasib sendiri. (1) menimbulkan pertanyaan tentang konsep bangsa (atau identitas bangsa), yang seringkali ditetapkan berdasarkan persamaan asal usul, suku, atau ikatan budaya, dan sementara keanggotaan seorang individu dalam sebuah bangsa seringkali dianggap di luar kemauan (tanpa sengaja), kadang juga dianggap sebagai sukarela. (2) menimbulkan pertanyaan tentang apakah penentuan nasib sendiri sebaiknya dipahami sebagai memiliki status negara secara penuh dengan kewenangan lengkap terhadap urusan dalam negeri dan internasional, atau apakah diperlukan sesuatu yang kurang dari itu.

Ketaatan tradisi, oleh karenanya, membedakan bangsa dari negara - di mana sebuah bangsa seringkali terdiri dari sebuah komunitas suku atau budaya, sebuah negara merupakan sebuah entitas politik dengan kedaulatan tingkat tinggi. Sementara banyak negara bisa diartikan sebagai bangsa-bangsa, ada banyak bangsa yang tidak sepenuhnya negara berdaulat. Sebagai contoh, penduduk asli Amerika Iroquois merupakan sebuah bangsa tapi bukan sebuah negara, disebabkan mereka tidak memiliki persyaratan kedaulatan politik terhadap urusan di dalam dan di luar mereka. Jika anggota dari bangsa Iroquois berusaha keras membentuk sebuah negara berdaulat sebagai usaha melestarikan identitas mereka sebagai manusia, mereka akan memamerkan nasionalisme yang fokus pada sebuah negara.

Nasionalisme telah lama diabaikan sebagai sebuah topik di dalam filosofi politik, dianggap sebagai peninggalan masa lalu. Menjadi fokus perdebatan filosofi dua dasawarsa lalu, di abad sembilan belas, sebagian sebagai konsekuensi dari pertikaian nasionalis yang cukup spektakuler dan meresahkan, misalnya yang terjadi di Rwanda, bekas Yugoslavia dan republik Soviet. Gelombang nasionalisme biasanya menyampaikan moral yang ambivalen, dan karenanya seringkali menjadi gambar yang memesonakan. "Kebangkitan bangsa" dan perjuangan untuk kemerdekaan politik seringkali heroik sekaligus kejam secara kemanusiaan; pembentukan sebuah bangsa negara yang dikenal seringkali ditanggapi dengan sentimen populer yang dalam, namun bisa dan terkadang membangkitkan konsekuensi tidak manusiawi, termasuk pengusiran dengan kekerasan dan "pembersihan" non-bangsa, sepenuhnya sebagai pembunuhan massal terorganisir. Debat moral terhadap nasionalisme mencerminkan tekanan moral yang dalam antara solidaritas terhadap kelompok bangsa yang tertindas di satu pihak dan kengerian yang orang rasakan terhadap tindak kejahatan atas nama nasionalisme di pihak lain. Lagi pula, isu nasionalisme menunjuk pada domain masalah yang lebih luas, berhubungan dengan perbedaan perlakuan suku dan budaya di dalam bentuk pemerintahan demokratis, yang bisa diperdebatkan di antara penekanan masalah-masalah teori politik masa kini.

Pada tahun-tahun terakhir ini fokus debat tentang nasionalisme bergeser menuju isu-isu keadilan internasional, kemungkinan sebagai respon perubahan di kancah internasional: misalnya perang nasionalis berdarah di bekas Yugoslavia menjadi kurang mencolok, sedangkan isu-isu terorisme, "bentrokan peradaban" dan hegemoni tatanan internasional menjadi perhatian publik. Satu rantai penting dengan debat-debat terdahulu disediakan oleh kontras antara pandangan keadilan internasional berdasarkan keunggulan kedaulatan negara dan pandangan lebih kosmopolitan yang memaksa pembatasan kedaulatan negara atau bahkan mempertimbangkan kelenyapannya. Satu lagi fokus baru para filsuf disebabkan oleh isu-isu hak teritori dan teritorial, yang menghubungkan topik kenegaraan yang mempertanyakan hal-hal seperti batas wilayah, migrasi, hak sumber daya dan masalah-masalah ekologi penting.

Di catatan ini pertama-tama akan kita sajikan isu konsep definisi dan klasifikasi (bagian 1 dan 2), dan kemudian argumen yang diletakkan menyusul dalam debat (bagian 3), menyediakan ruang lebih bagi argumen yang mendukung nasionalisme dan bagi mereka yang menentangnya, dalam rangka memberi ruang yang layak bagi filsuf nasionalis untuk didengarkan.

1. Apakah Bangsa?

1.1. Konsep Dasar Nasionalisme

Meski istilah "nasionalisme" memiliki arti beragam, secara terpusat mencakup dua fenomena seperti telah disebutkan di atas: (1) Perilaku yang dimililki anggota sebuah bangsa ketika mereka peduli dengan identitas mereka sebagai anggota bangsa tersebut dan (2) perbuatan yang dilakukan anggota sebuah bangsa dalam mencapai (atau menopang) semacam bentuk kedaulatan politik (lihat sebagai contoh, Nielsen 1998-9, 9). Setiap aspek tersebut membutuhkan penjelasan. (1) menimbulkan pertanyaan tentang konsep bangsa dan identitas bangsa yang bisa ditetapkan sebagai kesamaan asal-usul, suku, atau ikatan budaya, dan sementara keanggotaan seorang individu di dalam sebuah bangsa seringkali dianggap di luar kemauan (tidak sengaja), terkadang dianggap sukarela. Tingkat kepedulian terhadap suatu bangsa yang disyaratkan bagi nasionalis seringkali, namun tidak selalu, sangat tinggi: menurut pandangan semacam ini, tuntutan suatu bangsa mendahului rival pesaing kewenangan dan kesetiaan (lihat Berlin 1979, Smith 1991, Levy 2000, dan bahasan di Gans 2003, untuk lebih banyak karakterisasi ekstrim lihat halaman pembuka Crosby 2005).

(2) menimbulkan pertanyaan tentang apakah kedaulatan membawa penerimaan status negara penuh dengan kewenangan lengkap untuk urusan dalam negeri dan internasional, atau apakah sesuatu yang kurang dari status negara akan mencukupi. Meski kedaulatan seringkali diartikan status negara penuh (Gellner 1983, ch.1), pengecualian yang mungkin yang lebih baru telah dikenali (Miller 1992, 87, dan Miller 2000). Sebagian penulis membela bahkan sebuah versi anarkis dari nasionalisme moderat-patriotik, ditandai oleh Bakunin (lihat Robert Sparrow "For The Union Makes Us Strong: Anarchism and Patriotism", di Primoratz and Pavkovic 2007).

Disamping kekhawatiran tentang definisi tersebut, ada sejumlah persetujuan tentang apa yang paling khas menurut sejarah, bentuk paradigma dari nasionalisme. Merupakan sesuatu yang bercirikan tuntutan supremasi sebuah bangsa terhadap tuntutan lain kesetiaan individu dan yang bercirikan kedaulatan penuh sebagai tujuan berkebulatan tekad dari program politiknya. Kedaulatan teritorial secara tradisional dilihat sebagai sebuah elemen penegasan dari kekuasaan negara, dan penting bagi status bangsa. Dipuji melalui karya klasik modern oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau, dan kembali ke tengah panggung perdebatan, meski para filsuf kini lebih kritis dan skeptis (lihat di bawah). Adalah kendali terhadap pergerakan uang dan rakyat (dalam imigrasi tertentu) dan syarat hak sumber daya dalam kedaulatan teritorial yang membuat topik tersebut menjadi pusat perhatian secara politik di abad globalisasi, dan secara filosofi sama menarik bagi nasionalis maupun anti-nasionalis.

Negara teritorial sebagai unit politik dilihat oleh nasionalis sebagai secara terpusat 'milik' sebuah kelompok suku-budaya, dan secara aktif bertanggungjawab melindungi dan mengajarkan tradisinya. Bentuk ini dicontohkan oleh "pemimpin rohani" nasionalisme klasik yang paling terkemuka pada abad 19 di Eropa dan Amerika Latin. Nasionalisme klasik tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia dan pada hari ini masih menjadi ciri banyak nasionalisme masa kini.

1.2. Konsep Bangsa

Dalam bentuk umum isu nasionalisme berhubungan dengan pemetaan antara wilayah suku-budaya (bercirikan kelompok suku-budaya atau "bangsa") dan wilayah organisasi politik. Untuk memilah isu-isu tersebut menjadi bagian-bagian, kita telah menyebutkan pentingnya perilaku yang dimiliki anggota sebuah bangsa ketika mereka peduli dengan identitas kebangsaan mereka. Bagian ini menimbulkan dua jenis pertanyaan. Pertama, secara deskriptif:

(1a) Apakah bangsa? dan apakah identitas kebangsaan?
(1b) Apakah menjadi bagian dari sebuah bangsa?
(1c) Apakah hakikat dari perilaku pro-nasionalis?
(1d) Apakah keanggotaan sebuah bangsa sukarela atau tidak sukarela?

Kedua, secara normatif:

(1e) Apakah perilaku peduli terhadap identitas kebangsaan selalu tepat?
(1f)  Seberapa besar sebaiknya seseorang peduli?

Pada bagian ini pertanyaan deskriptif akan dibahas, mulai dengan (1a) dan (1b). (Pertanyaan normatif disinggung pada bagian 3 di debat moral). Jika seseorang mau memerintah rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bangsanya, seseorang harus memilliki ide tentang apakah bangsa dan apakah menjadi bagian dari sebuah bangsa. Jadi, dalam rangka memformulasikan dan mendasari evaluasi, tuntutan, arah tindakan mereka, pemikir pro-nasionalis telah menelaah teori-teori kesukuan, budaya, bangsa dan negara. Lawan mereka, pada gilirannya menantang penelaahan tersebut. Kini, beberapa perkiraan tentang kelompok-kelompok suku dan bangsa-bangsa adalah penting bagi nasionalis, sementara lainnya merupakan penelaahan teoritis yang diciptakan untuk mendukung hal-hal penting tersebut. Yang terdahulu memedulikan definisi dan status dari target atau kelompok sosial, ahli waris program nasionalis, dengan berbagai cara disebut "bangsa", "suku bangsa" atau "kelompok etnis/suku". Karena nasionalisme secara khusus menonjolkan kelompok yang belum menjadi sebuah negara, definisi bangsa dan kebangsaan (nasionalisme) semata-mata berhubungan dengan bagian dari sebuah negara menjadi gagal.

Tentu saja, kesetiaan yang murni bersifat kewarganegaraan seringkali ditaruh dalam kategori berbeda di bawah gelar "patriotisme" atau "patriotisme konstitusi" (Habermas 1996, lihat bahasan di Markell 2000; untuk pengertian tentang patriotisme yang lebih baik lihat Primoratz dan Pavkovic 2007). Hal ini menyisakan dua pilihan ekstrim, dan banyak posisi tingkat menengah. Pilihan ekstrim pertama telah dikemukakan oleh lingkaran kecil namun berbeda teoritikus, termasuk Renan (1882) dan Weber (1970); untuk pembelaan terkini lihat Brubaker 2004. Menurut definisi mereka yang murni voluntaristik (voluntarism menurut thefreedictionary.com adalah teori atau doktrin yang menghormati kehendak sebagai prinsip dasar individu atau alam semesta), bangsa adalah kelompok orang yang mencita-citakan organisasi layaknya sebuah negara politik yang sama. Jika orang-orang tersebut berhasil membentuk sebuah negara, kesetiaan anggota kelompok tersebut merupakan "kewarganegaraan" (sebagai lawan dari "suku") dalam sifatnya. Pada ekstrim lainnya, dan lebih secara khusus, tuntutan nasionalis berfokus pada komunitas non-sukarela dari asal usul, bahasa, tradisi dan budaya yang sama, jadi dalam pandangan klasik suku bangsa merupakan sebuah komunitas asal usul dan budaya, termasuk secara menonjol bahasa dan adat istiadat. Pembedaannya berkaitan (meski tidak identik) dengan yang ditarik oleh ilmu sosial dan politik sekolah jaman dulu antara nasionalisme "kewarganegaraan" dan "suku". Yang terdahulu disinyalir dari orang Eropa Barat sementara yang kemudian lebih ke orang Eropa Tengah dan Timur bermula di Jerman (pendukung terkemuka dari perbedaan tersebut adalah Hans Kohn 1965). Pembahasan filosofis yang berpusat di sekitar nasionalisme cenderung berhubungan dengan varian suku-budaya saja dan kebiasaan tersebut akan diikuti di sini. Sebuah kelompok yang mencita-citakan status kebangsaan dengan dasar tersebut akan disebut di sini sebagai 'suku bangsa' dalam rangka menggarisbawahi suku-budayanya bukan yang murni mendasari kewarganegaraan. Bagi nasionalis (suku)-bangsa, latar belakang suku budayalah yang menentukan keanggotaan di dalam sebuah komunitas. Seseorang tidak bisa memilih menjadi anggota, melainkan keanggotaan tergantung pada kebetulan dari asal usul dan sosialisasi awal. Namun, atribut asal usul menjadi dongengan bagi kebanyakan kelompok-kelompok kandidat masa kini; Kelompok-kelompok kandidat telah bercampur selama masa seribu tahun.

Oleh sebab itu, pro-nasionalis mutakhir cenderung menekankan keanggotaan budaya saja, dan bicara "kebangsaan" - menghilangkan bagian "suku-" (Miller 1992, 2000, Tamir 1993, Gans 2003). Michel Seymour dalam usulannya "definisi sosial-budaya" menambahkan dimensi politik pada yang murni budaya. Sebuah bangsa adalah kelompok budaya, boleh jadi tapi tidak selalu disatukan oleh keturunan yang sama, diberkahi dengan ikatan kewarganegaraan (Seymour 2000). Ini merupakan jenis definisi yang akan diterima oleh kebanyakan kelompok pada debat hari ini. Dengan demikian ditetapkan, bangsa agaknya merupakan kategori campuran, baik suku-budaya dan kewarganegaraan, namun masih lebih dekat kepada suku-budaya dibanding kewarganegaraan ekstrim murni.

Deskripsi lebih luas yang mendukung nasionalisme dinyatakan telah berubah selama lebih dua abad terakhir. Perluasan masa awal orang Jerman bicara tentang "semangat kerakyatan", sementara  yang lebih kemudian, terutama diambil dari orang Perancis, bicara tentang "mentalitas kolektif", menyebabkan kekuatan asal muasal penting tertentu. Turunan kemudian dari gagasan ini adalah ide "karakter kebangsaan" yang khas pada setiap bangsa, yang sebagian bertahan hidup hingga hari ini di bawah samaran "bentuk kehidupan" kebangsaan dan karena perasaan (Margalit 1997, lihat bawah). Selama hampir satu abad, hingga akhir Perang Dunia II, adalah biasa menghubungkan pandangan nasionalis dengan metafora organik masyarakat. Isaiah Berlin, menulis di awal tahun tujuhpuluhan, mengusulkan sebagai bagian dari definisi nasionalisme-nya yang terdiri dari pendirian orang sebagai bagian dari kelompok manusia tertentu, dan bahwa "... karakter individual yang menyusun kelompok dibentuk oleh, dan tidak bisa dipahami terpisah dari, kelompok mereka..." (dipublikasikan pertama kali tahun 1972, dicetak ulang di Berlin, 1979: 341). Nasionalis menyatakan, menurut Berlin, "pola kehidupan di dalam sebuah masyarakat sama dengan sebuah mahluk hidup biologis (ibid.), dan bahwa kebutuhan 'mahluk hidup' ini menentukan tujuan utama dari semua anggotanya. Pembela nasionalisme terkini, terutama filsuf, menghindari bahasa semacam itu. Metafora organik dan pembicaraan tentang karakter telah digantikan dengan sebuah metafora handal: yaitu identitas kebangsaan. Yang berpusat pada keanggotaan budaya, dan digunakan bagi identitas kelompok maupun identitas sosial dasar anggotanya, sebagai contoh, identitas kebangsaan George sejauh ini sebagai orang Inggris atau British. Bermacam penulis membongkar metafora tersebut dengan berbagai cara: sebagian menekankan keanggotaan di luar kemauan dalam komunitas, yang lain kekuatan seseorang yang dikenali oleh komunitas, belum lagi yang menyambungkan dengan identitas personal dari setiap anggota komunitas. Mengemukakan isu-isu tersebut, filsuf berpikiran nasionalis, seperti Alisdair McIntyre (1994), Charles Taylor (1989), dan M. Seymour, telah sangat berkontribusi dalam memperkenalkan dan memelihara topik-topik penting seperti: komunitas, keanggotaan, tradisi dan identitas sosial dalam debat filosofis masa kini.

Mari sekarang kita mengarah ke isu asal usul dan "keaslian" kelompok suku-budaya atau suku bangsa. Dalam ilmu sosial-politik seseorang biasanya membedakan dua jenis pandangan. Yang pertama disebut pandangan "primordialis". Menurut mereka bangsa-bangsa suku-budaya sesungguhnya telah ada "sejak jaman purbakala" (sebuah ekstrim, versi agak karikatural, berhubungan dengan retorika nasionalis abad ke sembilan belas), atau paling tidak sudah sejak dahulu kala selama periode pra-moderen (Hastings 1997, lihat bahasan pandangannya di Nations and Nationalism 2008, Volume 9, 2003). Terdapat versi sangat populer yang moderat dari pandangan ini yang dijuarai oleh Anthony Smith (1991, 2001 dan di versi terkini di 2008) dengan nama "simbolisme suku"/"ethnosymbolism". Sebagai pengembangan tipis dari kalimat ini lihat juga karya John Hutchinson, (yang terkini bukunya di 2005) dan dari Roshwald (2006, debat di Nations and Nationalism 2008, Vol. 1 and 4 berturut-turut). Menurut pendekatan ini, bangsa ibarat artichoke (tanaman yang bunganya dimakan sebagai sayuran), padanya kita mendapatkan banyak "daun tidak penting" yang bisa dikunyah satu demi satu, namun juga memiliki jantung yang tersisa setelah daun-daun habis dimakan (metafora batang dari Stanley Hoffmann; untuk detil dan sumber lihat debat antara Smith (2003) dan Ozkirimli (2003). Untuk rincian sejarah menarik lihat koleksi terkini oleh Derks & Roymans (2009)). Yang kedua adalah pandangan modernis, yang menempatkan asal mula bangsa di jaman modern. Mereka bisa lebih jauh digolongkan menurut jawaban mereka terhadap pertanyaan lebih lanjut: seberapa nyata bangsa suku-budaya? Realis modernis memandang bahwa bangsa adalah nyata tapi secara jelas merupakan kreasi modern, sebagai alat bantu asal kejadian kapitalisme (Gellner 1983, Hobsbawn 1990, dan Breully 2001). Pada sisi pagar yang sama namun lebih ke arah radikal sebagai pandangan yang ditemukan seorang anti-realis. Menurut salah satu yang berpandangan demikian, bangsa hanyalah "khayalan" meski tetap merupakan entitas yang sangat kuat, maksudnya adalah keyakinan terhadapnya tak tergoyahkan di antara para penganutnya (Anderson, 1965). Pandangan anti-realis ekstrim menyatakan bahwa mereka murni "bangunan" (lihat Walker 2001, untuk ringkasan dan daftar pustaka). Perbedaan pandangan tersebut sepertinya untuk mendukung pernyataan yang agak berbeda tentang bangsa. Ringkasan nasionalisme dalam teori politik lihat Vincent 2001.

Tentu saja, penulis dahulu - mulai dari pemikir hebat seperti Herder dan Otto Bauer, hingga propagandis yang mengikuti jejak mereka - telah melalui masa-masa sulit untuk mendasari pernyataan normatif terhadap realisme ontologi yang keras tentang bangsa: bangsa adalah nyata, entitas sejati (bona fide). Namun, debat moral masa kini telah mencoba untuk mengurangi pentingnya pemisahan khayalan/kenyataan tersebut. Para filsuf terkemuka masa kini menyatakan bahwa pernyataan normatif-evaluatif nasionalis cocok dengan hakikat "khayalan" dari sebuah bangsa. (Lihat, sebagai contoh, Mac Cormick 1982; Miller 1992, 2000, Tamir 1993, dan Gans 2003). Mereka menunjukkan bahwa khayalan yang sama dapat menyatukan orang bersama-sama, dan interaksi nyata merupakan hasil dari kebersamaan yang bisa menyebabkan kewajiban moral penting.

Mari sekarang kita mengarah ke pertanyaan (1c), hakikat perilaku pro-nasional. Isu penjelasan yang menarik minat ilmuwan sosial dan politik menyangkut sentimen suku-nasionalis, kasus paradigma perilaku pro-nasional. Apakah setidak rasional, romantis, dan acuh tak acuh terhadap kepentingan diri sendiri seperti terlihat di permukaan? Isu tersebut membagi dua para penulis yang melihat nasionalisme sebagai pada dasarnya tidak rasional dan mereka yang mencoba menjelaskannya sebagai, paling tidak separuh pengertiannya, rasional. Para penulis di kubu pertama, yang memandangnya sebagai tidak rasional, mengusulkan berbagai penjelasan tentang mengapa orang menyetujui pandangan yang tidak rasional. Sebagian mengatakan, secara kritis, bahwa nasionalisme berdasar pada "kesadaran palsu". Tapi, dari mana asal kesadaran palsu tersebut? Pandangan paling sederhana adalah bahwa hal tersebut sebuah hasil dari manipulasi langsung "massa" oleh "elit". Di sisi lain, kritikus nasionalisme terkenal, Elie Kedourie (1960) melihat ketidakrasionalan tersebut sebagai spontan. Liah Greenfeld akhir-akhir ini berangkat jauh menghubungkannya dengan penyakit kejiwaan di artikel provokatifnya (2005). Di sisi lain, Michael Walzer menawarkan sebuah pernyataan simpatik terhadap gairah nasionalis di artikelnya (2002). Para penulis yang menyandarkan diri pada tradisi Marxist menawarkan bermacam penjelasan lebih dalam. Salah satunya, strukturalis Perancis Étienne Balibar melihatnya sebagai "produk" ideologi yang dipengaruhi oleh mekanisme yang tidak ada hubungannya dengan keinginan spontan seorang individu untuk percaya, tapi dengan faktor sosial struktural secara umum (Ballibar dan Wallerstein, 1992). (Untuk sebuah ringkasan dari pendekatan Marxist lihat Glenn 1997). Sekarang pertimbangkan kubu lainnya, mereka yang melihat sentimen nasionalis sebagai rasional, paling tidak dalam pengertian sangat luas. Sebagian penulis menyatakan bahwa seringkali rasional bagi seorang individu untuk menjadi nasionalis (Hardin 1985). Pertimbangkan kedua sisi mata uang nasionalis. Pertama, identifikasi dan perpaduan di dalam kelompok suku bangsa. Mengambil contoh ikatan suku di dalam negara multi-suku, seorang Vietnam pendatang baru di Amerika Serikat akan berjalan baik dengan mengandalkan orang sebangsa: bahasa, adat istiadat dan pengharapan yang sama mungkin akan banyak menolong dalam menyesuaikan diri di lingkungan baru. Setelah ikatan terbangun dan ia menjadi bagian dari sebuah jaringan, adalah rasional untuk melanjutkan kerja sama, dan sentimen suku memang betul menjamin kepercayaan dan kekuatan ikatan yang diperlukan demi kelancaran kerja sama. Isu lebih lanjut yaitu ketika beralih pihak adalah rasional; tetap dengan contoh kita, kapan saat menguntungkan bagi orang Vietnam tersebut untuk membangun sebuah patriotisme yang sepenuhnya Amerika. Hal ini dibahas rinci oleh David Laitin (1998, diringkas di 2001; diterapkan pada hak bahasa di Laitin and Reich 2004; lihat juga Laitin 2007), yang menggunakan materi dari bekas Uni Soviet. Sisi lain mata uang nasionalis berhubungan dengan konflik di antara suku-suku bangsa. Hal ini tentang sikap tidak bekerjasama dengan pihak luar, yang memang bisa kebablasan. Adakah yang bisa secara rasional menjelaskan konflik ekstrim suku bangsa? Penulis seperti Russel Hardin melakukannya dengan usulan berupa pandangan umum yaitu ketika perilaku bermusuhan adalah rasional: yang paling khas, jika Anda tidak punya alasan untuk memercayai seseorang, menjadi masuk akal untuk bersikap waspada terhadapnya. Namun, apabila kedua pihak bersikap waspada, masing-masing cenderung melihat yang lain secara serius sebagai lawan. Maka menjadi rasional memperlakukan yang lain sebagai musuh. Hanya karena curiga kemudian bisa menjurus, oleh langkah kecil rasional individual, pada situasi konflik. (Perkembangan negatif semacam itu seringkali hadir sebagai varian yang disebut Dilema Tawanan/Prisoner's Dilemma). Kini, relatif mudah menandai keadaan di mana pola umum tersebut diterapkan pada solidaritas nasional dan konflik. Garis pemikiran tersebut sering disebut "pendekatan pilihan rasional". Hal tersebut memungkinkan penerapan alat bantu konseptual dari permainan-teoritis dan teori-teori ekonomi perilaku kooperatif dan non-kooperatif sebagai penjelasan dari nasionalisme-suku.

Namun, layak disebutkan, bahwa pendekatan pilihan rasional individualis, berpusat pada rasionalitas personal, punya pesaing serius. Sebuah tradisi dalam psikologi sosial, digagas oleh Henri Tajfel (1981), menunjukkan bahwa seorang individu mungkin menjadi bagian dari kelompok yang dipilih acak, bahkan ketika keanggotaan kelompok tidak membawa keuntungan nyata. Apakah rasionalitas dari apapun yang mendasari kecenderungan untuk identifikasi? Beberapa penulis (Sober & Wilson 1998) memiliki jawaban yang menyetujui. Mereka mengusulkan bahwa hal tersebut adalah rasionalitas evolusioner non-personal: individu yang mengembangkan sentimen identifikasi dan rasa saling memiliki menjadi lebih baik dalam perlombaan evolusioner; oleh sebab itu kita mewarisi kecenderungan tersebut. Sentimen awal disediakan bagi sanak keluarga sendiri, sehingga mendukung penyebaran gen-nya sendiri. Evolusi kebudayaan mengambil alih mekanisme identifikasi yang pada awalnya berkembang di dalam evolusi biologis. Sebagai hasil, kita memproyeksikan sentimen yang asalnya disediakan bagi sanak keluarga kepada kelompok budaya kita. Lebih jauh, penjelasan rinci dari perspektif sosial-biologis tersebut sangat berbeda di antara mereka sendiri, dan merupakan program aneka penelitian yang cukup menjanjikan (lihat ringkasan Goetze 2001).

Akhirnya, untuk pertanyaan (1d), sebuah bangsa secara khusus dilihat sebagai komunitas yang pada intinya tidak sukarela yang seseorang menjadi anggota disebabkan tempat lahir dan asuhan masa kecil, di mana rasa memiliki bagaimanapun menguat dan mungkin di bawa ke tingkat lebih tinggi, menjadi semakin sadar dan semakin lengkap oleh tambahan dukungan seseorang. Avishai Margalit dan Joseph Raz mengutarakan pandangan yang sama di dalam tulisan mereka tentang menjadi bagian dari bangsa: "Kualifikasi keanggotaan biasanya ditentukan oleh kriteria tidak sukarela. Seseorang tidak bisa memilih untuk menjadi anggota. Seseorang menjadi anggota disebabkan siapa dirinya" (Margalit dan Raz, 1990, 447). Dan tentu saja, keanggotaan tersebut membawa keuntungan penting: "Menjadi bagian dari suatu bentuk kehidupan kebangsaan berarti hidup di dalam kerangka yang menawarkan arti bagi pilihan rakyat di antara banyak pilihan, sehingga memungkinkan mereka memperoleh sebuah identitas" (Margalit 1997, 83). Mengapa menjadi bagian dari suatu bangsa diterima dengan tidak sukarela? Sangat sering hal ini digambarkan mulai dari kepemilikan bahasa: seorang anak tidak memutuskan bahasa apa yang akan menjadi bahasanya atau bahasa ibunya, dan hal ini sering diperhatikan bahwa bahasa ibu seseorang merupakan yang terpenting dari tempat penyimpanan arti konsep, pengetahuan, sosial dan budaya. Kesemuanya melekat pada bahasa, dan tidak eksis tanpanya. Sosialisasi masa kanak-kanak dipandang sebagai sosialisasi ke dalam kebudayaan tertentu, dan seringkali kebudayaan tersebut hanya diasumsikan sebagai sebuah bangsa. Terdapat orang-orang yang mengungkapkan dirinya 'secara orang Perancis', sementara lainnya memiliki bentuk kehidupan yang mengungkapkan 'secara orang Korea' atau 'secara orang Islandia' , tulis Margalit (1997, 80). Hasil keanggotaan oleh karenanya diperluas terhadap sejumlah besar non-sukarela. (Terdapat pengecualian terhadap pandangan yang pada dasarnya tidak sukarela ini, sebagai contoh, nasionalis teoritis yang menerima perubahan kebangsaan secara sukarela. (Lihat juga definisi terkenal Ernst Renan tentang sebuah bangsa yang dibentuk berdasarkan 'referendum setiap hari' 1882, 19)

2. Variasi Nasionalisme

2.1. Konsep Nasionalisme: Sempit dan Luas

Kita telah menunjukkan di awal catatan bahwa nasionalisme fokus pada (1) perilaku anggota suatu bangsa ketika mereka peduli dengan identitas kebangsaannya, dan (2) perbuatan yang dilakukan anggota sebuah bangsa untuk mencapai (menopang) suatu bentuk kedaulatan politik. Titik pusat secara politik adalah (2) perbuatan yang diperintahkan bagi nasionalis. Kini kita mengarah pada hal ini, dimulai dengan kedaulatan dan teritori, yang biasanya merupakan fokus perjuangan kemerdekaan suatu bangsa. Hal ini menimbulkan sebuah isu penting:

(2a) Apakah kedaulatan politik di dalam atau melewati sebuah teritori merupakan syarat status negara atau sesuatu yang kurang dari itu?

Jawaban klasik adalah bahwa sebuah negara dipersyaratkan. Jawaban yang lebih liberal adalah bahwa sebentuk kekuasaan otonomi sudah mencukupi. Setelah hal ini dibahas, kita bisa beralih ke isu-isu normatif:

(2b) Perbuatan apa yang secara moral diizinkan untuk mencapai kedaulatan dan mempertahankannya?
(2c) Di bawah kondisi apa yang secara moral diizinkan untuk perbuatan semacam itu?

Pertimbangkan lebih dulu jawaban nasionalis klasik terhadap (2a). Kedaulatan politik mensyaratkan sebuah negara "hak milik" suku bangsa (Oldenquist 1997, yang memberi penghargaan pengungkapan tersebut kepada penulis Csezlaw Milosz). Dalam mengembangkan garis pemikiran tersebut mereka seringkali menyatakan atau meyiratkan jawaban spesifik untuk (2b), dan (2c), yaitu, bahwa di dalam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa, penggunaan paksaan melawan ancaman pusat kekuasaan adalah hampir selalu berarti sah untuk terciptanya kedaulatan. Namun, nasionalisme klasik tidak hanya peduli dengan terciptanya sebuah negara tapi juga terhadap pemeliharaan dan pemberdayaannya. Jadi, begitu sebuah negara ada, pilihan lebih lanjut terbuka bagi nasionalis. Mereka kadang mengajukan tuntutan perluasan (meski berarti perang) dan kadang memilih kebijakan pengasingan. Perluasan seringkali disahkan melalui permohonan kepada urusan yang belum selesai yaitu membawa secara harfiah seluruh anggota bangsa di bawah satu negara, terkadang oleh kepentingan bangsa dalam memperoleh lebih banyak teritori dan sumber daya. Sedangkan pemeliharaan kedaulatan dalam arti damai dan ideologis belaka, nasionalisme politik terikat secara dekat pada nasionalisme budaya. Yang terakhir mendesak pelestarian dan penyebaran budaya yang ditetapkan, atau secara lebih akurat, ciri suku bangsa yang dikenali bangsa dalam bentuk yang murni, mempersembahkan kreasi artistik, pendidikan dan penelitian untuk tujuan ini. Tentu saja ciri suku bangsa bisa nyata atau diciptakan, sebagian atau seluruhnya. Sekali lagi di dalam varian klasik norma yang relevan menyatakan bahwa seseorang memiliki hak dan kewajiban (sebuah "tugas mulia") untuk memajukan tradisi semacam itu. Kekuatannya adalah sumber kunci yang menang melawan kepentingan lain, bahkan melawan hak (sebuah pernyataan yang seringkali diperlukan dalam rangka melanjutkan perjuangan kemerdekaan bangsa). Sebagai konsekuensi, nasionalisme klasik harus bicara tentang tingkat perilaku juga: seperti untuk (1e) memelihara kebangsaan seseorang dianggap sebagai tugas mendasar masing-masing anggotanya, dan tunduk kepadanya, dalam jawaban untuk (1f), contoh pertanyaan tentang cakupan, sebuah cakupan tak terbatas. Berikut daftar karakteristik penting sebagai referensi masa depan:

Nasionalisme klasik merupakan program politik yang memandang penciptaan dan pemeliharaan kedaulatan penuh negara dimiliki oleh kelompok suku bangsa yang ditetapkan ("rakyat" atau "bangsa") sebagai tugas utama setiap anggota kelompok. Dimulai dari asumsi bahwa kesatuan budaya yang tepat (atau "alamiah") adalah suatu suku bangsa yang dituntut bahwa tugas utama setiap anggota adalah untuk mematuhi urusan-urusan budaya oleh budaya suku bangsa yang dikenali seseorang.

Nasionalis klasik biasanya waspada tentang jenis budaya yang mereka lindungi dan kembangkan, dan tentang jenis perilaku yang orang miliki bagi bangsa negara mereka. Perilaku waspada tersebut membawa potensi bahaya: banyak unsur dari budaya yang ditetapkan merupakan universalis atau hanya tidak dikenali kebangsaannya, terkadang akan jatuh sebagai korban antusiasme nasionalis semacam ini. Nasionalisme klasik di dalam kehidupan sehari-hari memberi tuntutan-tuntutan tambahan kepada individu, mulai dari membeli barang  produk dalam negeri berharga lebih mahal sebagai pilihan daripada barang impor berharga murah, hingga melahirkan anak sebagai anggota masa depan bangsa sebanyak mungkin yang seseorang bisa kelola. (lihat Yuval-Davies 1997).

Disamping nasionalisme klasik (dan sepupu ekstrimisnya yang lebih radikal), bermacam pandangan moderat akhir-akhir ini juga digolongkan sebagai nasionalis. Tentu saja, diskusi filosofis telah bergeser ke bentuk moderat bahkan ultra-moderat ini, dan kebanyakan filsuf yang menggambarkan diri mereka sebagai nasionalis mengusulkan program nasionalis yang sangat moderat. Karakterisasi ringkasnya sebagai berikut:

Nasionalisme klasik dalam pengertiannya yang lebih luas adalah perilaku kompleks apapun, menuntut dan memerintahkan pada perbuatan disebabkan sebuah politik fundamental, moral dan nilai budaya bagi bangsa dan kebangsaan dan memperoleh kewajiban (bagi anggota individu bangsa, dan kelompok ketiga apapun yang terlibat, individu maupun kolektif) berdasarkan nilai ini.

Nasionalisme dalam pengertian lebih luas, bisa agak bervariasi dalam konsep mereka tentang bangsa (yang seringkali dibiarkan tersirat dalam wacananya), dengan menghargai dasar dan kadar nilainya, dan dalam cakupan pernyataan dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan. (Istilahnya juga bisa diterapkan pada kasus lain di luar nasionalisme klasik, sebagai contoh, hipotesis bentuk pra-negara politik yang mungkin diterapkan pada suatu identitas suku). Nasionalisme moderat adalah nasionalisme yang diuniversalkan dalam pengertian lebih luas yang kurang menuntut dibanding nasionalisme klasik. Terkadang disebut sebagai "patriotisme" (Sebuah penggunaan yang berbeda lagi, mencadangkan "patriotisme" bagi menghargai komunitas sipil dan kesetiaan kepada negara, sebagai kontras dengan nasionalisme, yang berpusat di sekitar komunitas suku-budaya). Variasi nasionalisme paling relevan dengan filosofi adalah yang berpengaruh pada pendirian moral tuntutan dan menganjurkan praktek nasionalisme. Uraian pandangan filosofis di depan yang menyetujui nasionalisme akan dirujuk di sini sebagai "nasionalisme teoritis", kata sifat yang membantu membedakan pandangan semacam itu dari wacana nasionalis yang kurang mutakhir dan lebih praktis. Pusat pernyataan evaluatif nasionalis teoritis bisa dengan berguna ditaruh di peta posisi yang memungkinkan di dalam teori politik dengan cara mengikuti yang agak disederhanakan dan skematis.

Tuntutan nasionalis bercirikan terpusatnya bangsa bagi perbuatan politik menyediakan sebuah jawaban untuk dua pertanyaan umum penting. Pertama, adakah jenis kelompok besar sosial (lebih kecil dari seluruh umat manusia) yang secara moral terpusat kepentingannya atau tidak? Jawaban kaum nasionalis adalah ada, hanya satu, namanya bangsa. Saat pilihan utama harus dibuat, bangsa memiliki prioritas. (Jawaban tersebut tersirat oleh definisi nasionalisme agak standar yang ditawarkan oleh Berlin, dibahas di bagian 1, dan Smith di tahun 2001). Kedua, apakah dasar kewajiban yang individu miliki terhadap pusat kelompok secara moral? Apakah keanggotaan kelompok sukarela atau tidak sukarela? Jenis pemikir nasionalis masa kini memilih jawaban terakhir, seraya mengakui bahwa persetujuan sukarela identitas kebangsaan seseorang merupakan pencapaian penting secara moral. Pada peta filosofis, selera normatif pro-nasionalis secara baik cocok dengan sikap mental anggota komunitas secara umum: filsuf pro-nasionalis merupakan anggota komunitas yang memilih kebangsaan sebagai komunitas pilihan (sebagai kontras dengan mereka sesama anggota komunitas yang memilih komunitas-komunitas yang jauh lebih luas, seperti yang ditetapkan oleh tradisi religius global). Namun beberapa penulis masa kini, seperti Will Kymlicka (2001), yang menggambarkan diri mereka sebagai nasionalis liberal, menolak dukungan anggota komunitas.

Sebelum melanjutkan ke pernyataan moral, ijinkan saya memberi goresan secara ringkas isu dan sudut pandangnya, menyambungkan dengan hak-hak teritori dan teritorial, penting bagi program politik nasionalis. (Saya mengadaptasi taksonomi unggul dari A. Kollers (2009, ch.1) pada topik yang ada). Mengapa teritori penting bagi kelompok-kelompok suku bangsa, dan apa cakupannya, dan apa dasarnya, hak-hak teritorial? Kepentingan utama ada pada kedaulatan, dan semua kemungkinan kendali internal dan pengecualian eksternal yang dibawa dalam kebangkitannya. Tambahkan padanya pandangan Rousseuian bahwa kelekatan politik pada hakikatnya mengikat dan kecintaan pada sebuah kelompok - atau untuk meletakkannya secara lebih ringan, keguyuban sipil republikan - mensyaratkan pengecualian sebagian "yang lain", dan kepentingan tersebut menjadi cukup jelas. Bagaimana dengan dasar-dasar yang dituntut hak-hak teritorial? Pandangan nasionalis dan pro-nasionalis kebanyakan kembali pada kelekatan yang anggota bangsa miliki pada teritorinya dan pada nilai normatif teritori bagi suatu bangsa sebagai pembenar bagi tuntutan teritorial. (Miller 2000, Meissels 2009 (dengan beberapa perbaikan yang dibahas di bawah)). Hal ini dalam beberapa hal sama dengan dasar pemikiran penganjur hak-hak orang pribumi (Tully 2004, tapi lihat juga Hendrix 2008), dan dalam beberapa hal teori non-nasionalis suku-geografisnya Koller (2009) ), namun berbeda dalam memilih kelompok suku bangsa sebagai satu-satunya pembawa hak-hak. Lampiran pandangan ini sungguh kontras dengan pandangan lebih pragmatis tentang hak-hak teritorial yang dimaksudkan untuk resolusi konflik (contoh: Levy 2009). Sebuah alternatif lebih jauh dan cukup populer adalah keluarga dari pandangan individualistik mendasari hak-hak teritorial dalam hak kepentingan individu, contohnya dalam hak-hak kemanusiaan mereka (Buchanan 2004), hak-hak kepemilikian pra-politik Lockean (Simmons 2001), hak-hak sumberdaya individu mereka (Steiner 1999), atau hak-hak asosiasi politik (Wellman 2005). Di sisi ekstrim pandangan anti-nasionalis berdiri ide dari Pogge (jika ia dapat diinterpretasikan dengan cara ini) bahwa tidak ada masalah spesifik teritorial bagi filosofi politik - "pendekatan pemisahan", demikian Koller mengistilahkan. Sebagian dari para penulis yang disinggung adalah kritikus kosmopolitan dari nasionalisme, yang paling terkenal Buchanan dan Pogge.

2.2. Tuntutan Moral: Sentralitas Bangsa

Kita sekarang melintas ke dimensi normatif nasionalisme. Pertama-tama kita akan menggambarkan program nasionalis paling penting, yaitu sketsa dan penggolongan jenis normatif dan evaluatif tuntutan nasionalis. Tuntutan-tuntutan ini bisa dipandang sebagai jawaban dari bagian rangkaian normatif pertanyaan kita sebelumnya tentang (1) perilaku pro-nasionalis dan (2) tindakan-tindakan.

Maka tuntutan-tuntutan tersebut menganjurkan rangkaian berbagai tindakan, yang secara terpusat dimaksudkan untuk mengamankan dan mendukung organisasi politik - lebih disukai sebuah negara - bagi komunitas bangsa suku-budaya yang ditetapkan (dengan cara demikian membuat jawaban lebih spesifik terhadap pertanyaan normatif kita (1e), (1f), (2b) dan (2c)). Lebih jauh, mereka memerintah anggota komunitas untuk menyebarluaskan kandungan suku-budaya yang dikenal sebagai pusat karakteristik kehidupan budaya di dalam negara semacam itu. Akhirnya, kita akan membahas bermacam garis pemikiran pro-nasionalis yang telah ditaruh di depan sebagai pembelaan tuntutan ini. Sebagai pembuka, mari kita kembali pada tuntutan berkenaan dengan kelanjutan negara bangsa dan budaya. Hal ini diusulkan oleh nasionalis sebagai sebuah panduan dan norma perilaku. Secara filosofis variasi terpenting berkenaan dengan tiga aspek tuntutan normatif semacam itu.

(i) Hakikat normatif dan kekuatan tuntutan: apakah hal tersebut mengajukan sebuah hak belaka (katakanlah, untuk memiliki dan memelihara sebuah pemerintahan politik sendiri, lebih disukai dan biasanya sebuah negara, atau memiliki kehidupan budaya yang berpusat pada kebudayaan suku bangsa yang dikenal), atau sebuah kewajiban moral (untuk mendapatkan dan memelihara), ataukah sebuah kewajiban moral, hukum dan politik? Tuntutan terkuat adalah khas nasionalis klasik: karakteristik normanya adalah moral dan, begitu sebuah bangsa negara terbentuk, kewajiban yang secara hukum dapat diberlakukan dengan menghargai semua kelompok yang berkepentingan, termasuk anggota individu dari suku bangsa. Sebuah versi lebih lemah namun cukup menuntut hanya berbicara kewajiban moral ("tugas mulia"). Versi lebih liberal puas dengan hak-tuntutan memiliki sebuah negara yang "berhak dimiliki" oleh suku bangsa.

(ii) Kekuatan tuntutan nasionalis dalam hubungannya dengan bermacam kepentingan dan hak-hak eksternal: untuk memberi sebuah contoh nyata, penggunaan bahasa dalam negeri sangat penting bahkan konferensi-konferensi internasional harus diselenggarakan dengannya, yang harus dibayar dengan kehilangan banyak partisipan peminat dari luar negeri? Kekuatan tuntutan nasionalis di sini ditekankan melawan kekuatan tuntutan lain, yaitu kepentingan individu dan kelompok, atau hak-hak mereka. Variasi kekuatan pembanding tuntutan mengambil tempat pada rangkaian kesatuan di antara kedua ekstrim. Pada ekstrim yang kurang menyenangkan, fokus tuntutan bangsa dipandang sebagai kartu truf yang didahulukan di atas tuntutan lain apapun, bahkan di atas hak-hak manusia. Lebih jauh menuju ke tengah adalah nasionalisme klasik yang menuntut pusat-bangsa diutamakan di atas kepentingan individu dan banyak kebutuhan (termasuk keperluan kolektif pragmatis), namun tidak mesti di atas hak-hak manusia secara umum. (sebagai contoh, lihat McIntyre 1994, Oldenquist 1997). Pada ujung yang berseberangan, yang lembut, ramah dan liberal, fokus tuntutan nasionalis adalah status persetujuan prima facie (pada pandangan pertama/otentik) saja (lihat Tamir 1993, Gans 2003).

(iii) Bagi kelompok mana tuntutan nasionalis seharusnya sah? Apa cakupannya? Pertama, mereka bisa sah bagi setiap suku bangsa maka dengan demikian universal. Sebuah contoh akan jadi sebuah pernyataan "setiap suku bangsa harus memiliki negaranya sendiri". Untuk membuatnya lebih resmi.

Nasionalisme yang diuniversalkan adalah program politik yang menuntut bahwa setiap suku bangsa harus memiliki negara yang harus menjadi hak milik, dan yang kepentingannya harus didukung.

Atau, sebuah tuntutan mungkin partikularistik, seperti tuntutan "Kelompok X harus memiliki negara", di mana hal tersebut tidak dimaksudkan bagi kelompok lainnya.

Nasionalisme partikularisme adalah program politik yang menuntut bahwa sebagian suku bangsa harus memiliki negara, tanpa memperluas tuntutan kepada semua suku bangsa. Dilakukan dengan:

A. penghilangan (nasionalisme partikularisme tidak terefleksi), atau
B. secara eksplisit menetapkan siapa yang tidak termasuk, "Kelompok X harus memiliki negara, tapi kelompok Y tidak." (nasionalisme diskriminasi tidak adil/invidious).

Yang paling sulit dan memang bagian-kasus partikularisme yang chauvinistik, yaitu (B) disebut "diskriminasi tidak adil" karena secara eksplisit mengingkari hak istimewa sebagian orang untuk memiliki negara. T. Pogge (1997) mengusulkan divisi lebih lanjut dari (B) ke sudut "tinggi", yang mengingkari bagi beberapa jenis kelompok, dan yang "rendah" yang menolaknya bagi kelompok-kelompok tertentu. Nasionalis teoritis serius biasanya hanya membela variasi universalis, di mana nasionalis-di-jalan paling sering membela yang egoistis tidak menentukan ("Beberapa bangsa harus memiliki negara, terutama milik saya!"). Nasionalisme klasik terdiri dari variasi partikularistik maupun universalis.

Meski ketiga dimensi variasi - kekuatan internal, kekuatan perbandingan dan cakupan - secara logis independen, secara psikologis dan politik saling terjalin. Orang yang dalam satu hal radikal pada isu nasionalisme cenderung radikal juga dalam hal lain. Dengan kata lain, perilaku cenderung mengelompok bersama di dalam kelompok stabil, dengan begitu perilaku yang ekstrim (atau moderat) pada satu dimensi secara psikologis dan politik cocok dengan yang ekstrim (atau moderat) pada dimensi yang lain. Perpaduan perilaku ekstrim pada dimensi yang satu dengan moderat pada dimensi yang lain secara psikologis dan sosial tidak stabil.

Gambaran nasionalis tentang moralitas secara tradisional cukup dekat dengan pandangan dominan dalam teori relasi internasional, disebut "realisme". Untuk menaruh tujuan realisme klasik secara gamblang, moralitas berakhir di perbatasan bangsa negara; di luar batas tersebut tidak ada lain kecuali anarki. Pandangan tersebut eksplisit di Friederich Meinecke (1965, pengantar) dan Raymond Aron (1962), dan sangat dekat ke permukaan di Hans Morgenthau (1946); untuk tautan menarik dengan nasionalisme masa kini, lihat naskah oleh Michael C. Williams (2007) dan buku yang disunting oleh Duncan Bell (2008). Mereka secara baik melengkapi tuntutan utama nasionalis klasik tentang negara-bangsa, yaitu bahwa setiap suku bangsa atau rakyat harus memiliki negara mereka sendiri, dan menganjurkan apa yang akan terjadi selanjutnya: negara-bangsa memasuki sebuah kompetisi atas nama rakyat konstitusional mereka.

3. Debat Moral

3.1. Nasionalisme klasik dan liberal

Mari kembali ke pertanyaan normatif awal kita, berpusat di sekitar (1) perilaku (2) tindakan. Apakah kebangsaan secara sepihak dibenarkan dan hingga sejauh mana? Tindakan apa yang tepat untuk menciptakan kedaulatan? Secara khusus, apakah negara suku bangsa dan benda-benda budaya suku bangsa yang secara institusional dilindungi, bebas dari kehendak individual anggota, dan sejauh mana seseorang boleh melindunginya? Debat filosofis yang membela dan melawan nasionalisme adalah debat tentang keabsahan moral pusat tuntutannya. Secara khusus isu moral utama adalah sebagai berikut: apakah bentuk apapun dari nasionalisme secara moral diizinkan atau dibenarkan, dan, jika tidak, seberapa buruk bentuk-bentuk khusus darinya? (Untuk sebagian debat terkini secara umum, lihat Chatterjee dan Smith, 2003).

Mengapa tuntutan nasionalis memerlukan pembelaan? Dalam beberapa situasi mereka terlihat masuk akal: sebagai contoh, keadaan menyedihkan dari beberapa kelompok bangsa tanpa negara - sejarah orang Yahudi dan Armenia, kemalangan orang Kurdi - membuat orang secara spontan menyetujui ide bahwa memiliki negara mereka sendiri akan memecahkan masalah terburuk. Tetap, ada alasan bagus untuk memeriksa tuntutan nasionalis secara lebih cermat. Alasan paling umum ialah hal tersebut sebaiknya diperlihatkan terlebih dulu bahwa bentuk politik dari negara bangsa memiliki nilai demikian, bahwa sebuah komunitas bangsa memiliki nilai moral khusus, bahkan terpusat, dan bahwa tuntutan yang memperkenankannya memiliki keabsahan normatif. Begitu hal ini mapan, dibutuhkan pembelaan lebih lanjut. Tuntutan sebagian nasionalis klasik muncul menjadi bentrokan - paling tidak di bawah situasi normal kehidupan masa kini - dengan berbagai nilai yang orang cenderung akan terima. Sebagian nilai ini dianggap penting bagi masyarakat demokratis-liberal, sementara lainnya secara khusus penting untuk menyuburkan budaya dan kreativitas. Nilai utama dari rangkaian pertama adalah otonomi individu dan penuh kebajikan yang tidak terbagi (paling menonjol terhadap anggota kelompok yang secara budaya berbeda dengan yang seseorang miliki). Tugas khusus yang dinyatakan terhadap budaya suku-bangsa seseorang bisa dicampuri, dan kerap mencampuri hak individu untuk otonomi. Juga, jika tugas-tugas ini ditafsirkan dengan sangat keras, mereka bisa mencampuri hak individu orang lain, contoh, hak atas privasi. Banyak penulis feminis mencatat bahwa anjuran yang biasanya ditawarkan nasionalis, yakni bahwa perempuan memiliki kewajiban moral melahirkan anggota baru bangsa, dan mengasuh mereka untuk kepentingan bangsa, bentrok dengan otonomi dan privasi perempuan tersebut (Yuval-Davis 1997, Moller-Okin 1999, 2002 dan 2005). Nilai lain yang mengancam adalah keragaman di dalam komunitas suku bangsa, yang juga bisa dirintangi oleh homogenitas budaya nasional terpusat.

Tugas-tugas berorientasi bangsa juga mencampuri nilai kreativitas tidak dipaksakan, misalnya mengatakan kepada penulis atau musisi atau filsuf bahwa mereka memiliki tugas istimewa memajukan pusaka nasional merupakan tindakan mencampuri kebebasan berkreasi. Pertanyaannya di sini bukan apakah para individu ini memiliki hak memajukan pusaka nasional, namun apakah mereka memiliki tugas untuk melakukannya.

Di antara dua rangkai nilai yang mengancam tersebut, yang berpusat pada otonomi dan yang berpusat pada kreativitas, adalah nilai-nilai yang tampaknya muncul dari kebutuhan biasa orang-orang yang hidup dalam situasi biasa (Barry 2001). Di banyak negara modern, warga dari latar belakang suku berbeda hidup bersama, dan seringkali menghargai kehidupan semacam ini. Fakta nyata hidup bersama ini tampaknya menjadi kebajikan yang harus ditegakkan. Nasionalisme cenderung tidak membantu perkembangan jenis multi budaya dan perbedaan ini, dinilai dari teori (terutama yang nasionalis klasik) dan pengalaman. Tapi masalahnya semakin memburuk. Dalam praktek, varian nasionalisme yang tersebar luas adalah bentuk partikularistik diskriminasi tidak adil (invidious) yang menuntut hak orang-orangnya sendiri dan mengingkari bagi lainnya, untuk alasan yang tampak jauh dari kebetulan. Sumber masalah adalah persaingan untuk sumber daya yang menipis/langka: sebagaimana Ernst Geller (1983) secara terkenal menunjukkannya, ada terlalu sedikit teritori bagi semua kandidat kelompok suku untuk memiliki negara dan hal yang sama berlaku bagi kebajikan lain yang dituntut oleh nasionalis untuk digunakan eksklusif dalam proses mencapai cita-citanya. Menurut beberapa penulis (Mc Cabe 1997) varian diskriminasi tidak adil (invidious) lebih masuk akal dibanding bentuk lain nasionalisme: jika seseorang sangat menghargai kelompok sukunya sendiri, cara paling sederhana adalah menghargainya tout court (sederhana/ringkas). Jika seseorang secara pasti memilih budayanya sendiri dalam semua aspek dari yang asing, merupakan hal yang membuang-buang waktu dan perhatian untuk menghiraukan yang lain. Universalis, varian non-invidious memperkenalkan komplikasi secara psikologi dan politik yang sangat besar. Hal ini bangkit dari sebuah ketegangan di antara kelekatan spontan terhadap komunitasnya sendiri dan tuntutan untuk menghormati semua komunitas dengan mata setara. Ketegangan ini bisa membuat posisi non-invidious yang penyayang tidak stabil secara psikologi, dan sulit ditegakkan dalam situasi konflik dan krisis. Kelemahan secara psikologi ini membuatnya secara politik kurang efisien.

Para penulis yang bersimpati pada nasionalisme menyadari kejahatan yang nasionalisme hasilkan di masa lalu, dan biasanya menjauhkan diri dari hal ini. Mereka biasanya bicara tentang "bermacam tambahan yang telah memberi nama buruk nasionalisme," dan mereka ingin sekali "memisahkan ide nasionalismenya sendiri dari ekses ini" (Miller 1992, 87 dan Miller, 2000). Pemikiran penulis pro-nasionalis semacam itu telah ikut serta dalam sebuah dialog filosofis tanpa henti di antara pendukung dan penentang tuntutan (lihat antologi McKim & McMahan 1997, Couture, Nielsen & Seymour 1998, Miscevic 2000 dan Primoratz dan Pavkovic 2007). Dalam rangka membantu pembaca mengetahui apa saja yang melibatkan perdebatan, kita akan secara singkat meringkas pertimbangan-pertimbangan yang terbuka bagi nasionalis suku untuk membela kasus mereka. (Bandingkan ringkasan yang berguna dalam Lichtenberg 1997). Pertimbangan dan garis pemikiran yang terbangun atas mereka dapat digunakan untuk membela variasi sangat berbeda dari nasionalisme, mulai dari yang radikal hingga yang moderat.

Penting untuk memberi peringatan mengenai asumsi kunci dan alasan yang terbentuk di dalam masing-masing garis pemikiran yang diringkas di bawah, yaitu, bahwa asumsi seringkali hidup di dalam kehidupan merdeka di dalam literatur filosofis. Sebagian darinya terbentuk di dalam usulan pembelaan dari bermacam pandangan tradisional yang sedikit sekali hubungannya dengan konsep bangsa secara khusus.

Untuk cepatnya, saya akan mengurangi setiap garis pemikiran menjadi argumen ringkas; debat sebenarnya, tetapi, lebih terlibat dari yang seseorang bisa gambarkan dalam sketsa. Saya akan tunjukkan, dalam tanda kurung, beberapa kalimat kritik menonjol yang ditaruh di depan dalam debat. (Hal ini dibahas secara lebih rinci di Miscevic 2001). Argumen utama yang membantu nasionalisme, yang mengaku untuk mendirikan tuntutan fundamentalnya tentang negara dan budaya, akan dibagi menjadi dua rangkai. Satu rangkai argumen membela tuntutan bahwa komunitas nasional memiliki nilai tinggi, seringkali dipandang sebagai non-instrumental dan independen.dan bebas dari keinginan dan pilihan anggota individu mereka, dan mendebat bahwa dengan demikian mereka seharusnya dilindungi oleh negara dan peraturan pemerintah resmi. Rangkaian kedua secara 'filosofi' tidak begitu dalam (atau 'luas') dan meliputi argumen dari yang disyaratkan oleh keadilan, agak independen dari asumsi inti tentang budaya dan nilai budaya.

Rangkaian pertama akan dihadirkan di sini secara lebih rinci, karena mereka yang membentuk pusat debat. Mereka menggambarkan komunitas sebagai sumber mendalam dari nilai atau sebagai alat pengirim unik yang menyambungkan para anggotanya dengan beberapa nilai penting. Dalam pengertian ini, argumen rangkaian ini berpusat pada anggotanya dengan perasaan 'dalam' secara khusus, karena mereka berlandaskan karakteristik dasar kondisi manusia. Berikut karakterisasinya.

Perspektif komunitarian dalam adalah sebuah perspektif teoritis isu-isu politik (dalam kasus dengan pertimbangan nasionalisme), membenarkan penyelenggaraan politik yang ditetapkan (di sini, sebuah negara-bangsa) oleh pertimbangan untuk asumsi politik mendalam tentang kodrat manusia, bahasa, ikatan komunitas dan identitas (dalam kesadaran filosofis lebih dalam).

Bentuk umum argumen komunitarian dalam adalah sebagai berikut. Pertama, dasar pemikiran komunitarian: adanya kebajikan kontroversial (yaitu, identitas seseorang), dan sebentuk komunitas adalah penting untuk memperoleh dan melestarikannya. Lalu tiba pernyataan bahwa bangsa suku-budaya merupakan jenis komunitas ideal yang cocok untuk tugas ini. Sayangnya, pernyataan kritis ini jarang dipertahankan secara detil di dalam literatur. Namun, berikut sebuah contoh dari Margalit, yang kalimat terakhirnya telah dikutip di atas:

Idenya adalah bahwa orang menggunakan gaya yang berbeda dalam mengekspresikan kemanusiaannya. Gaya tersebut secara umum ditentukan oleh komunitas di mana mereka berada. Ada orang yang mengungkapkan diri mereka 'secara orang Perancis', sementara yang lainnya memiliki bentuk kehidupan yang diungkapkan 'secara orang Korea' atau .... 'secara orang Islandia'. (1997, 80).

Kemudian diikuti kesimpulan pemerintah: dalam rangka bahwa komunitas semacam demikian harus melestarikan identitasnya sendiri dan mendukung identitas anggotanya, maka harus dianggap (selalu atau paling tidak biasanya) bentuk politik negara. Kesimpulan argumen semacam ini adalah bahwa komunitas suku-bangsa memiliki hak, dengan hormat kepada pihak ketiga apapun dan kepada anggotanya sendiri, untuk memiliki sebuah negara suku-bangsa, dan warganegara memiliki hak dan kewajiban untuk mendukung budaya sukunya dalam hubungannya dengan yang lain.

Meski anggapan filosofis lebih dalam di argumen dicangkok dari tradisi yang mementingkan anggota (komunitarian), bentuk yang diperlemah juga telah diusulkan oleh filsuf berpikiran lebih liberal. Garis pemikiran komunitarian yang mendukung nasionalisme menganjurkan bahwa ada beberapa nilai dalam melestarikan tradisi budaya suku-bangsa, dalam perasaan memiliki sebuah bangsa yang sama dan dalam solidaritas di antara anggota bangsa. Nasionalis liberal mungkin menerima bahwa hal ini bisa menjadi nilai pusat kehidupan politik, namun menyatakan bahwa mereka meski demikian adalah nilai-nilai. Selain itu, pandangan yang sangat berlawanan, individualisme murni dan kosmopolitanisme, terlihat gersang dan abstrak, dan tampak tidak termotivasi oleh perbandingan. Menurut kosmopolitanisme saya akan memahami doktrin moral dan politik dengan urutan berikut:

Kosmopolitanisme adalah pandangan yang

a. Kewajiban moral utama seseorang diarahkan pada seluruh umat manusia (tanpa menghiraukan  jarak geografis atau budaya), dan
b. Penyelenggaraan politik harus secara tepat mencerminkan kewajiban moral universal ini (dalam bentuk penyelenggaraan pemerintah-supra yang didahulukan di atas negara-bangsa).

Kritikus kosmopolitanisme terkadang mendebat bahwa kedua tuntutan tersebut membingungkan karena umat manusia pada umumnya berjuang paling baik di bawah beberapa penyelenggaraan institusi global (seperti milik kita) yang memusatkan kekuasaan dan wewenang di tingkat negara.

Dihadapkan dengan kekuatan menentang nasionalisme dan kosmopolitanisme, banyak filsuf memilih sebuah pencampuran antara liberalisme-kosmopolitanisme dan patriotisme-nasionalisme. Di dalam tulisannya B. Barber mengagungkan "sebuah pencampuran luar biasa kosmopolitanisme dan parokialisme" yang, dalam pandangannya melukiskan identitas nasional Amerika (di Cohen 1996, 31). Charles Taylor menyatakan bahwa "kita tidak punya pilihan selain menjadi kosmopolitan dan patriot" (ibid, 121). Hilary Putnam mengusulkan kesetiaan menjadi yang terbaik di dalam tradisi berganda yang setiap dari kita turut ambil bagian; rupanya sebuah jalan tengah antara patriotisme berpikiran dangkal dan kosmopolitan yang terlalu abstrak (ibid, 114). Kompromi tersebut dibayangkan oleh Berlin (1979), dan Taylor (1989, 1993), dan berbagai versinya yang dikerjakan dengan cukup rinci oleh penulis seperti Yael Tamir (1993), David Miller (1995, 2000), Kai Nielsen (1998), Michel Seymour (2000), Chaim Gans (2003). Pada tahun-tahun terakhir ini mereka menempati tengah panggung debat, dan bahkan memprovokasi pembacaan ulang nasionalisme historis di dalam perspektifnya, sebagai contoh di Miller (2005), Sung Ho Kim (2002) atau Brian Vick (2007). Penulis nasionalis paling liberal menerima berbagai versi argumen yang dilemahkan, yang kita buat daftarnya di bawah, menerima mereka untuk mendukung tuntutan nasionalisme moderat atau ultra-moderat.

Inilah pelemahan utama nasionalisme-suku klasik yang diusulkan oleh nasionalis liberal, liberal-terbatas dan kosmopolitan. Pertama, tuntutan suku-bangsa hanya memiliki kekuatan prima facie (yang utama), dan tidak bisa melebihi hak individu. Kedua, tuntutan suku-bangsa sah tidak di dalam mereka sendiri dan tidak secara otomatis menjadi hak penuh negara, melainkan menjadi hak otonomi budaya di tingkat tertentu. Model utama otonomi adalah yang teritorial dan non-teritorial: yang pertama melibatkan pelimpahan teritorial, yang kedua otonomi budaya diberikan kepada individu tanpa memperhatikan domisili mereka di dalam negara (untuk pembahasan sangat hidup dari keuntungan dan kerugian masing-masing, lihat naskah oleh Reiner Bauböck dan Will Kymlicka di Dieckoff (2004), yang pertama membela non-teritorial, yang kemudian membela pilihan teritorial). Ketiga, nasionalisme-suku adalah bawahan patriotisme kewarganegaraan, dan hal tersebut sedikit atau tidak ada hubungannya dengan kriteria suku. Keempat, mitologi suku-bangsa dan "kebohongan penting" serupa adalah bisa ditoleransi hanya jika ramah dan tidak mengganggu, dalam hal secara moral diperbolehkan meski dalam kepalsuan. Akhirnya, apapun legitimasi yang mungkin dimiliki suku-bangsa, diperoleh dari pilihan individu yang berkepentingan, harus dapat dibuat dengan bebas.

3.2. Argumen yang membela nasionalisme: kebutuhan mendalam akan komunitas

Sekarang pertimbangkan argumen tertentu dari rangkaian pertama. Argumen pertama tergantung pada asumsi yang juga muncul di yang berikut, namun dianggap oleh komunitas sebuah nilai hakiki, sementara yang mengikutinya lebih menunjuk pada sebuah nilai instrumental bangsa diperoleh dari nilai perkembangan individu, pemahaman moral, identitas mantap, dan semacamnya.

(1) Argumen dari nilai hakiki. Setiap komunitas suku-bangsa adalah bernilai di dalam dan dari dirinya sendiri karena hanya di dalam kerangka alamiah meliputi beragam tradisi budaya yang nilai dan arti pentingnya dihasilkan dan disebarkan. Anggota komunitas semacam itu berbagi kedekatan istimewa budaya satu sama lain. Dengan berbicara bahasa yang sama dan berbagi adat istiadat dan tradisi, anggota komunitas biasanya lebih dekat satu sama lain dalam bermacam cara daripada dengan mereka yang tidak berbagi budaya tersebut. Komunitas tersebut kemudian menjadi sebuah jaringan agen yang terhubung secara moral, yaitu sebuah komunitas moral, dengan ikatan kewajiban istimewa yang sangat kuat. Sebuah kewajiban menonjol setiap individu, berkepentingan dengan ciri yang melandasi komunitas suku, di atas semua bahasa dan adat istiadat: mereka sebaiknya dihargai, dilindungi, dilestarikan dan diperkuat. Asumsi umum bahwa kewajiban moral meningkat dengan kedekatan budaya seringkali dikritik sebagai problematis. Terlebih lagi, bahkan jika kita mengakui asumsi umum ini dalam teori, mereka runtuh dalam praktek. Kegiatan aktivis nasionalis paling sering berbalik melawan tetangga dekat (dan pada pokoknya serupa) daripada melawan orang asing yang jauh, jadi dalam banyak konteks penting, pertimbangan kedekatan tidak akan berhasil. Namun mungkin memelihara kekuatan potensialnya melawan kelompok-kelompok yang jauh secara budaya.

(2) Argumen dari Perkembangan. Komunitas suku-bangsa penting bagi setiap anggotanya untuk berkembang. Secara khusus, hanya di dalam komunitas semacam itu seorang individu bisa mendapatkan konsep dan nilai krusial untuk memahami kehidupan budaya komunitas secara umum dan kehidupan individu itu sendiri secara khusus. Telah banyak terjadi debat pada sisi pro-nasionalis tentang apakah perbedaan nilai penting bagi keterpisahan kelompok bangsa. Nasionalis liberal Kanada, Seymour (1999), Taylor, dan Kymlicka, menunjukkan bahwa 'perbedaan nilai di antara wilayah-wilayah berbeda di Kanada' yang 'meminimalkan' keinginan untuk memisahkan kehidupan berbangsa. Taylor (1993, 155) menyimpulkan bahwa hal tersebut bukan perihal keterpisahan nilai. Hasil tersebut masih bisa cocok dengan argumen dari perkembangan, jika 'konsep dan nilai' tidak dianggap kebangsaan secara khusus, seperti tuntutan nasionalis komunitarian..(McIntyre 1994, Margalit 1997)

(3) Argumen dari Identitas. Filsuf komunitarian menekankan pemeliharaan alam sebagai kekuatan prinsip yang menentukan identitas kita sebagai orang.- kita menjadi orang seperti sekarang ini karena setelan dan konteks sosial di mana kita menjadi dewasa. Pernyataan tersebut secara pasti memiliki hal yang masuk akal. Identitas setiap orang itu juga tergantung pada keikutsertaan mereka di dalam kehidupan komunal. (Lihat McIntyre 1994, Nielsen 1998, dan Lagerspetz 2000). Sebagai contoh, Nielsen menulis:

Kita, secara awam, tersesat jika tidak bisa mengenali diri sendiri dengan beberapa bagian dari kenyataan sosial obyektif: sebuah bangsa, meski tidak mesti sebuah negara, dengan tradisinya tersendiri. Apa yang kita temukan pada orang - dan secara dalam melekat sebagaimana kebutuhan untuk mengembangkan bakat mereka - merupakan kebutuhan yang tidak hanya bisa mengatakan apa yang dapat mereka lakukan, namun untuk mengatakan siapa mereka. Hal ini ditemukan, tidak diciptakan, dan ditemukan dalam identifikasi dengan orang lain di dalam budaya yang sama berdasarkan kebangsaan atau ras atau agama atau beberapa irisan atau campuran darinya....Di situasi modern, kesadaran nasional yang terjamin dan terpelihara ini hanya bisa dicapai dengan negara-bangsa yang sesuai dengan kesadaran nasional tersebut (1993, 32).

Menyepakati bahwa moralitas individu tergantung pada mereka memiliki identitas personal yang matang dan stabil, kondisi komunal yang membantu perkembangan identitas personal semacam itu harus dilestarikan dan dianjurkan. Nasionalis filosofis menyatakan, format nasional adalah format yang tepat untuk melestarikan dan menganjurkan komunitas yang memberi-identitas semacam itu. Maka dari itu, kehidupan komunal harus diselenggarakan di sekitar budaya nasional tertentu. Nasionalis klasik mengusulkan budaya harus diberi negaranya, sementara nasionalis liberal mengusulkan budaya harus mendapatkan paling tidak semacam bentuk perlindungan politik. (Untuk pembahasan isu linguistik, seringkali terikat pada identitas, lihat Kymlicka dan Patten 2003, dan Patten 2003)

4. Argumen dari Pemahaman Moral. Variasi nilai yang istimewa pentingnya adalah nilai moral. Beberapa nilai adalah universal, contoh, kebebasan dan kesetaraan, tapi mereka terlalu abstrak dan "tipis". Nilai-nilai moral yang kaya dan "tebal" adalah yang hanya bisa dilihat di dalam tradisi-tradisi tertentu, oleh mereka yang mendukung sepenuh hati norma dan standar tradisi yang disepakati. Sebagaimana Charles Taylor ajukan, "bahasa yang kita miliki ada untuk menerima artikulasi isu-isu yang baik bagi kita." (1989, 35). Bangsa menawarkan kerangka alamiah bagi tradisi moral, dan dengan cara demikian untuk pemahaman moral, merupakan sekolah dasar moral. (Saya catat dengan adil, Taylor sendiri ambivalen tentang format nasional moralitas). Sebuah masalah yang sering diketahui dari garis pemikiran ini adalah bahwa bangsa tertentu tidak semua memiliki moralitas istimewanya sendiri. Juga, moralitas "tebal" yang detil bisa bermacam-macam, lebih melintasi divisi lain, seperti divisi kelas atau jenis kelamin, daripada melintasi kelompok suku-bangsa. (Untuk pembahasan terkini beberapa konsekuensi mengejutkan yang njelimet dan membangkitkan minat dari pernyataan bahwa terdapat "nilai nasional" dan apa yang terjadi ketika nilai klasik liberal diperhitungkan sebagai "nilai nasional", lihat Laegard (2007).

(5) Argumen dari Keberagaman. Setiap budaya nasional menyumbang dalam cara unik pada keberagaman budaya manusia. Penganjur ide tersebut yang paling terkenal di abad sembilan belas, Isiah Berlin (menafsirkan Herder, yang pertama kali melihat ide ini penting) menulis:

'Ilmu firasat' budaya adalah unik: masing-masing menyampaikan pengelupasan kulit potensi manusia yang sangat bagus dalam waktu, lingkungan dan tempatnya sendiri. Kita dilarang menghakimi nilai perbandingannya karena berarti mengukur apa yang tidak dapat dibandingkan. (1976, 206)

Pembawa nilai dasar dengan demikian adalah totalitas kebudayaan, di mana setiap budaya nasional dan gaya kehidupan yang menyumbang kepada totalitas memperoleh nilainya sendiri. Argumen dari keberagaman oleh karenanya majemuk: dianggap nilai bagi tiap budaya tertentu dari sudut pandang totalitas budaya yang ada. Anggaplah bahwa (suku-)bangsa adalah unit alamiah budaya, pelestarian keragaman budaya diperhitungkan secara institusional melindungi kemurnian budaya (suku-)bangsa. Kemajemukan gaya bisa dilestarikan dan diperkuat dengan mengikat gaya tersebut dengan "bentuk kehidupan" suku-bangsa. Ketidakkonsekuenan pragmatis bisa mengancam argumen ini. Pokok persoalannya adalah siapa yang bisa secara sah menawarkan keragaman suku-bangsa sebagai ideal: nasionalis terlalu terikat dengan budayanya sendiri untuk melakukannya, sementara kosmopolitan terlalu asyik melestarikan rantai antar-budaya yang berangkat jauh melewati ide memiliki satu negara-bangsa tunggal. Selain itu, apakah keberagaman serupa nilai yang berhak dilindungi kapanpun ia hadir? Haruskah perlindungan terhadap keberagaman dibatasi pada aspek-aspek tertentu budaya, dari usulan dalam ketidaktetapan penuh? (Untuk argumen keberagaman versi moderat lebih dibatasi, dipertimbangkan untuk analogi dengan keberagaman-biologi, namun fokus secara eksklusif pada keberagaman linguistik, lihat François Grin di Kymlicka dan Patten (2003)).

Garis pemikiran (1) tidak individualistik. Dan (5) bisa disampaikan tanpa acuan pada individu: Keberagaman mungkin baik di dalam kebenarannya sendiri, atau mungkin baik bagi bangsa. Tapi garis pemikiran lain di dalam rangkaian yang baru saja disampaikan semuanya bertautan dengan pentingnya kehidupan komunitas dalam relasi dengan individu. Mereka bangkit dari perspektif pemikiran "dalam" komunitarian, dan sebuah tema berulang adalah pentingnya fakta bahwa keanggotaan komunitas tidak dipilih tapi agak tidak sukarela. Dalam setiap argumen ada dasar pikiran umum komunitarian (sebuah komunitas, di mana seseorang tidak punya pilihan apakah menjadi bagian darinya atau tidak, adalah penting bagi identitas seseorang, atau untuk berkembang, atau untuk beberapa kebajikan lainnya). Dasar pikiran ini berpasangan dengan pernyataan deskriptif yang pusat-bangsanya lebih dangkal bahwa suku-bangsa adalah tepat sekali, jenis komunitas yang secara ideal cocok bagi tugas tersebut. Namun, nasionalis liberal tidak melihat argumen tersebut persuasif seutuhnya. Dalam pandangan mereka, pokok pikiran argumen tersebut bisa tidak mendukung keseluruhan paket dari ambisi nasionalis, dan mungkin tidak sah tanpa syarat. Tetap, terdapat banyak dari argumen ini, dan mereka mungkin mendukung nasionalisme liberal dan sebuah sudut yang lebih rendah hati dalam memperkenankan budaya nasional.

3.3. Argumen yang membantu nasionalisme: isu keadilan

Argumen di rangkaian kedua mengenai keadilan politik dan tidak mengandalkan pernyataan metafisik tentang identitas, perkembangan dan nilai budaya. Mereka mempertimbangkan (nyata atau dugaan) situasi yang akan membuat kebijakan nasionalis masuk akal (atau dibolehkan, atau bahkan diperintahkan), seperti (a) fakta bahwa bagian besar dunia diatur menjadi negara bangsa (sehingga setiap kelompok baru yang bercita-cita menciptakan negara-bangsa hanya mengikuti pola yang telah berdiri), atau (b) kondisi pertahanan diri kelompok atau menebus ketidakadilan masa lalu yang mungkin membenarkan kebijakan nasionalis (untuk menerima kasus khusus). Sebagian argumen juga menyampaikan kehidupan berbangsa sebagai kondusif bagi kebajikan politik penting, seperti kesetaraan.

(1) Argumen dari Hak Menentukan Nasib Sendiri Kolektif. Sekelompok orang dengan jumlah mencukupi memiliki hak prima facie untuk memerintah sendiri dan memutuskan masa depan keanggotaan, jika anggota kelompok menginginkannya. Secara hakiki kehendak demokratis anggotanya sendiri yang mendasari hak bagi sebuah negara suku-bangsa dan bagi institusi dan praktek budaya berpusat-suku. Argumen ini menyampaikan pembenaran tuntutan (suku-) bangsa yang diperoleh dari kehendak anggota bangsa tersebut. Oleh sebab itu sangat cocok untuk nasionalisme liberal namun tidak menarik bagi komunitarian dalam, yang melihat permintaan bangsa sebagai merdeka dari, dan sebelum, pilihan khusus individu. (Untuk pembahasan lebih lanjut argumen ini, lihat Buchanan 1991, yang telah menjadi klasik masa kini, Moore 1998, dan Gans 2003. Untuk pertukaran terkini, lihat J. Levy di Dieckoff 2004, dan volume di pemisahan oleh Pavković dan Radan 2007)

(2) Argumen dari Hak Pembelaan Diri dan Menebus Ketidakadilan Masa Lalu. Penindasan dan ketidakadilan memberi kelompok korban kampanye adil dan hak memisahkan diri. Jika sebuah kelompok minoritas ditindas oleh mayoritas, maka hampir setiap anggota kelompok minoritas lebih buruk dibanding kebanyakan anggota mayoritas, hanya dalam kebajikan menjadi bagian minoritas, maka tuntutan nasionalis minoritas secara moral masuk akal, bahkan bisa jadi memaksa. Argumen tersebut termasuk jawaban bersifat membatasi pada pertanyaan kita (2b) dan (2c): penggunaan paksaan dalam rangka mencapai kedaulatan adalah sah hanya dalam kasus pembelaan diri dan penebusan. Tentu saja, ada banyak pekerjaan harus dilakukan untuk menetapkan kekuatan perlawanan siapa yang mungkin digunakan secara sah, dan seberapa besar kerusakan yang mungkin terjadi terhadap berapa banyak. Hal ini menegakkan hak perbaikan khas, yang dapat diterima dari pendirian liberal. (Lihat pembahasan di Kukathas dan Poole 2000, juga Buchanan 1991. Untuk ketidakadilan masa lalu lihat Waldron 1992)

(3) Argumen dari Kesetaraan. Anggota kelompok minoritas sering dirugikan dalam hubungannya dengan budaya dominan karena mereka harus mengandalkan mereka yang berbahasa dan berbudaya sama untuk urusan hidup sehari-hari. Karena kebebasan menjalani kehidupan sehari-hari pada pokoknya baik, dan sulit mengubah atau menyerahkan kepercayaan kepada satu budaya minoritas untuk mencapai kebaikan tersebut, kepercayaan ini bisa mengarah pada ketidaksetaraan tertentu jika ukuran khusus tidak diambil. Bangunan bangsa secara spontan oleh mayoritas harus diperlunak. Untuk itu, netralitas liberal sendiri mensyaratkan bahwa mayoritas menyediakan kebajikan budaya dasar tertentu, yaitu memberikan hak-hak perbedaan. (Lihat Kymlicka 1995b, 2001 dan 2003). Perlindungan institusional dan hak kelompok minoritas untuk memiliki struktur institusional merupakan obat yang memulihkan kesetaraan dan mengubah hasil negara-bangsa menjadi lebih multi kultural moderat. (Lihat Kymlicka 2001, 2003). (Kami mencatat sebuah usulan menarik terkini oleh Robert E. Goodin (2006), yang membedakan dua motivasi untuk multikulturalisme dan dua jenis akibat yang mungkin, multikulturalisme poliglot dan multikulturalisme protektif. Yang kemudian dituangkan Kymlicka, fokus melindungi kepentingan minoritas dari mayoritas, yang sebelumnya terinspirasi oleh keberagaman ideal dan nilai keanekaragaman, ketersediaan di dalam sebuah negara yang disepakati "memperluas rangkaian pilihan agen-agen swatantra" (2006, 290)).

(4) Argumen dari Sukses. Negara-bangsa telah sukses di masa lalu. Menyelenggarakan kesetaraan dan demokrasi. Sebagaimana Craig Calhoun tulis di buku terkininya, "(...) membayangkan demokrasi membutuhkan pemikiran tentang "rakyat" sebagai aktif dan saling melekat dan seseorang sebagai anggota maupun agen. Liberalisme memberitahukan gagasan keagenan individu, namun menyediakan pembelian lemah untuk yang terbaik pada keanggotaan dan pada kepaduan kolektif dan kapasitas orang biasa. Di era modern, formasi tidak bersambungan satu sama lain tersebut paling berpengaruh menjamin dimensi nasionalisme demokrasi ini" (2007, 147). Solidaritas suku-bangsa adalah sebuah motif sangat kuat untuk distribusi kebajikan yang lebih setara (Miller 1995, Canovan 1996, 2000). Negara-bangsa juga tampaknya penting dalam menjamin moral komunitas di masa depan karena satu-satunya bentuk institusi politik yang mampu melindungi komunitas dari ancaman globalisasi dan asimilasi. (Untuk pembahasan kritis yang detil dari argumen ini lihat Mason 1999). Calhoun sendiri benar-benar sadar akan keterbatasan pujiannya terhadap nasionalisme, menyebutkannya secara harfiah di halaman yang sama di mana kutipan diambil.

Diagnosa sukses yang bahkan lebih mengempiskan akhir-akhir ini ditawarkan oleh A. Roshwald di bukunya (2006), di mana dianggap bangsa berlawanan asas dan bertentangan dengan tuntutan nasionalis. Mengutip sebuah ringkasan sangat baik yang diberikan oleh A. Smith:

Bagi Roshwald, nasionalisme adalah kuno sekaligus sangat modern, mengaryakan dua gambaran waktu, berputar dan lurus; mengupayakan penentuan nasib sendiri sementara memperlihatkan kesadaran akan kondisi sebagai korban; mendesak keterpilihan karakterisasi individu bangsa sambil menuntut misi universal; dan akhirnya, mengungkap sebuah simbiosis keluarga dan percampuran darah suku dan kewarganegaraan kehidupan bangsa. Melalui kontradiksi tersebut, nasionalisme secara konstan mampu memperbaharui dirinya dan menyesuaikan diri dengan situasi berbeda ... (Smith 2008b, 638)

Sebuah jenis pertimbangan tentang sukses yang bahkan lebih problematis mungkin yang pro-nasionalis peroleh dari teori terkini Liah Greenfeld, menurutnya "faktor yang bertanggung jawab akan reorientasi aktivitas ekonomi menuju pertumbuhan adalah nasionalisme", dan "posisi ranah ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di dalam kesadaran modern adalah produk dinamis masyarakat Amerika, pada gilirannya terbentuk oleh karakteristik tunggal nasionalisme Amerika" (2001, 1). Greenfeld sendiri sangat kritis akan nasionalisme, namun seseorang mungkin memikirkan kemungkinan menggabungkan teorinya (bebas dari sikap kritisnya) ke dalam pembelaan nasionalisme.

Argumen politik ini bisa dikombinasikan dengan argumen komunitarian dalam. Namun, diambil dalam keterasingan, mereka menawarkan perspektif lebih menarik dari "kulturalisme liberal" yang lebih sesuai bagi masyarakat plural secara suku-budaya. Mereka lebih terpencil dari nasionalisme klasik daripada nasionalisme liberal Tamir dan Nielsen karena mengelak dari sokongan filosofis komunitarian apapun (lihat paparan dan pembelaan detil di Kymlicka 2001, dan karya ensiklopedia jujurnya yang sewaktu-waktu masih menghimbau semacam 'nasionalis' kulturalisme, dan sebuah ringkasan pendek di Kymlicka 2003 dan Gans 2003).  Ide bangunan-bangsa moderat menunjuk pada multi-kulturalisme terbuka, di mana setiap kelompok menerima hak perbaikan yang menjadi bagiannya, tapi bukan membentengi dirinya sendiri melawan yang lain, melainkan ikut serta di dalam sebuah budaya kewarganegaraan tumpang tindih yang sama dan dalam komunikasi terbuka dengan sub-komunitas. Menimbang variasi masyarakat pluralistik dan interaksi intens lintas-nasional, keterbukaan semacam itu terlihat bagi banyak orang menjadi satu-satunya jaminan kestabilan sosial dan politik (lihat debat di Saphiro dan Kymlicka 1997). Keterbukaan penting untuk menghindari jebakan yang disebut oleh Margaret Canovan "paradoks kucing yang mencari-cari" (2001). Ia memperingatkan bahwa "teori nasionalis baru dengan kurang hati-hati mengandung pendorong jahat bagi nasionalis untuk melakukan tepat kebalikan dari apa yang para teoris maksud untuk dikuasakan". Satu-satunya jalan keluar kelihatannya adalah moderasi ekstrim. Dialektika tuntutan nasionalis moderat dalam konteks masyarakat pluralistik jadi mungkin menjurus pada pendirian yang menghormati perbedaan budaya, namun liberal dan berpotensi kosmopolitan di dalam tujuan utamanya.

Pendirian nasionalis liberal adalah lembut dan sipil, dan ada banyak yang bisa dikatakan untuk menyukainya. Dibuat untuk mendamaikan intuisi kita dalam menyetujui semacam perlindungan politik bagi komunitas budaya, dengan moralitas politik liberal. Tentu saja, hal tersebut memunculkan isu kesesuaian antara prinsip universal liberal dan kelekatan khusus pada bangsa suku-budaya seseorang. Nasionalis sangat liberal seperti Tamir menceraikan kehidupan bangsa suku-budaya dari kehidupan negara. Juga, jenis cinta kepada negara yang mereka anjurkan diimbangi oleh segala macam pertimbangan universalis, yang dalam contoh terakhir mengalahkan kepentingan nasional (Tamir 1993, 115; lihat juga Moore 2001 dan Gans 2003). Terdapat debat terus menerus di antara nasionalis filosofis tentang seberapa melemah dan seberkompromi apa yang tetap sesuai dengan sikap mental menjadi sama sekali nasionalis. (Untuk contoh, Canovan 1996 (ch. 10) memperkenalkan Tamir sebagai mengabaikan 'negara-bangsa' ideal, dan dengan demikian kehidupan berbangsa semacam itu; Seymour (1999) mengritik Taylor dan Kymlicka karena membelakangi program nasionalis sejati, dan mengusulkan multikulturalisme bukannya nasionalisme). Terdapat juga runtutan kepentingan kosmopolitan dihadirkan di dalam karya sebagian nasionalis liberal (Nielsen 1998/9).

Pada tahun belakangan ini isu nasionalisme juga telah semakin bertambah padu menjadi debat di tatanan internasional (lihat catatan di globalisasi dan kosmopolitanisme). Tautan konseptual utama adalah tuntutan bahwa negara-bangsa adalah alamiah, stabil dan unit yang cocok dengan tatanan internasional. Hal ini didukung oleh asumsi bahwa setiap negara-bangsa berhubungan dengan 'rakyat'nya, sebuah populasi budaya homogen yang anggotanya tunduk pada solidaritas dengan teman senegara. Tengah panggung debat akhir-akhir ini adalah pandangan John Rawl yang dijelaskan di "Law of Peoples"nya (1999), dianggap berasal dari banyak janji politik dan nilai moral tinggi pada sistem internasional yang tersusun dari negara-bangsa yang layak dan liberal. Kritik lebih kosmopolitan terhadap bantahan Rawl melawan status sedemikian tinggi bagi negara-bangsa dan asumsi "rakyat" homogen (Pogge 2001, 2002; O'Neil 2000, Nussbaum 2002 (Other Internet Resource), Barry 1999). Debat yang berhubungan mengenai peran minoritas di dalam proses globalisasi (lihat Kaldor, 2004). Minat filsuf dalam moralitas tatanan internasional membangkitkan usulan-usulan menarik tentang unit alternatif sub-nasional dan supra-nasional, yang bisa memainkan peran di samping negara-bangsa, dan bahkan mungkin ada untuk melengkapi mereka (untuk ringkasan bagus, lihat Held 2003, untuk tinjauan menarik terkini dari alternatif lihat Walzer 2004, bab 12). Selain itu, kedua pendekatan tersebut mungkin pada akhirnya bertemu: nasionalisme liberal multi-kultural dan kosmopolitanisme menghormati-perbedaan moderat memiliki banyak persamaan. Sebuah penelitian ke arah ini telah dilakukan oleh Kok-Chor Tan (2004, lihat khususnya ch. 5).

Ijinkan saya mengilustrasikan pokok yang sama dengan secara ringkas kembali ke debat teritori dan bangsa terkini. Nasionalis liberal (Miller 2000, 2007, Gans 2003, Meissels 2009) mencoba melestarikan tautan nasionalis tradisional antara "kepemilikan" suku dari negara, kontrol kedaulatan dan teritorial, tapi dalam latar belakang yang jauh lebih fleksibel dan mutakhir. Maka Tamar Meissels menyanggah dengan menyetujui "menganggap penyelesaian nasional yang ada diperhitungkan sebagai faktor pusat dalam menentukan garis demarkasi batas wilayah teritorial" karena kalimat ini "memiliki asas liberal" (yaitu dalam karya John Locke) dan permohonan nasional-liberal (2009, 159) di dasar gaya tarik menariknya dengan doktrin liberal penentuan nasib sendiri nasional. Ia mengombinasikannya dengan interpretasi Chaim Gans atas tuntutan 'hak historikal' sebagai 'hak teritori formatif' (Gans 2003, ch. 4). Maka ia mengombinasikan "argumen historis, dipahami sebagai tuntutan teritori formatif" dengan argumen penyelesaian dan mendesak penguatan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan, menyampaikannya sebagai "berhubungan paling dekat dengan, dan berdasarkan pada, anggapan dan landasan ide nasionalis liberal" (Meissels 2009, 160). Namun, ia menekankan, bisa ada lebih dari satu kelompok suku memiliki ikatan formatif dengan teritori yang ditetapkan, dan mungkin ada persaingan tuntutan berdasarkan penyelesaian.

Tapi, dari pengalaman konflik suku-bangsa di abad dua puluh, seseorang bisa dengan aman beranggapan bahwa negara yang plural secara budaya terbagi menjadi sub-komunitas terisolasi dan tertutup yang melekat bersama hanya oleh persetujuan modus vivendi (kompromi praktis) semata adalah sudah menjadi sifatnya tidak stabil. Maka dari itu stabilitas mungkin diperlukan sehingga masyarakat plural yang diimpikan oleh kulturalis liberal mendorong interaksi di dalam negara yang cukup intens antara kelompok budaya dalam rangka mencegah kecurigaan, mengurangi prasangka dan menciptakan dasar kokoh untuk hidup bersama.

Pada sisi spektrum yang berlawanan, penulis lebih kosmopolitan (Buchanan 2003, Waldron 2005 (Other Internet Resource) juga menunjuk fakta penyelesaian berganda di teritori yang kira-kira sama dan pentingnya kedekatan letak kelompok bermacam budaya-suku. Mereka menekankan pluralisme kultural internal: untuk alasan perdamaian dan keamanan, perbatasan harus menyatukan kelompok-kelompok budaya yang berbeda (khususnya yang suku-bangsa), dan mereka sebenarnya yang paling sering melakukannya. Seseorang lalu bisa mengombinasikan kedua motivasi, budaya yang menganjurkan multi-kulturalisme terbuka dan yang mendukung keamanan garis Waldronian menurut batas negara mana yang menyelesaikan konflik dan menegakkan keadilan, sehingga membentuk negara adalah hutang tugas kita kepada siapapun yang berpeluang menjadi konflik endemik. (Waldron 2005, Other Internet Resource)

Namun di mana seseorang harus berhenti? Pertanyaan tersebut muncul karena ada banyak teritori berbagai ukuran yang terbuka secara geografis dan saling mempengaruhi. Pertama, keterbukaan geografis dataran benua ukuran besar, lalu keterbukaan saling mempengaruhi ("Tiada pulau sebagai sebuah pulau lagi," seseorang dapat berkata) dan akhirnya dan secara dramatis, keterbukaan ekologi besar-besaran menyangkut tanah dan iklim. Jadi jika kita mengikuti logika kosmopolitan tentang kepentingan perdamaian dan keamanan, ini akan menyarankan menggabungkan bersama unit lebih besar dan lebih besar dalam macam pola berulang. Sebagai contoh, Uni Eropa diciptakan untuk menjamin perdamaian abadi, dan negara-supra dan makro-regional lain mungkin mengikuti jejaknya. Akhirnya, kombinasi budaya-suku dan pertimbangan fokus keamanan dengan demikian mungkin menunjuk secara jelas ke arah kosmopolitan dalam memformulasikan dan memecahkan dilema perihal teritori.

4. Kesimpulan

Filosofi nasionalisme masa kini tidak banyak menyangkutkan dirinya dengan bentuk agresif dan berbahaya nasionalisme invidious yang seringkali memenuhi pusat panggung kabar berita dan penelitian sosiologi. Meski bentuk merusak ini bisa dari nilai instrumental penting yang mengerahkan rakyat tertindas dan memberikan mereka perasaan bermartabat, ongkos moralnya biasanya diambil para filsuf untuk melampaui manfaatnya. Filsuf berpikiran-nasionalis menjauhkan diri mereka dari nasionalisme agresif semacam itu, dan terutama mengupayakan untuk menggagas dan membela versi sangat moderat; ini makanya telah menjadi fokus utama debat filosofis akhir-akhir ini.

Dalam menyampaikan tuntutan yang nasionalis pertahankan, kita telah mulai dari yang lebih radikal dan bergerak menuju alternatif nasionalis liberal. Dalam memeriksa argumen tuntutan ini, kita mula-mula menyampaikan argumen komunitarian yang menuntut secara metafisik, bersandar pada anggapan komunitarian dalam tentang budaya, seperti dasar pemikiran bahwa bangsa suku-budaya adalah secara universal komunitas pusat dan paling penting bagi setiap individu manusia. Ini merupakan tuntutan yang cukup baik dan menarik, namun kemasukakalannya masih belum terbangun. Debat moral tentang nasionalisme menghasilkan berbagai pelemahan argumen budaya, diusulkan oleh nasionalis liberal yang merubah argumen menjadi kurang ambisius tapi jauh lebih masuk akal. Mengabaikan ideal nasionalis lama, sebuah negara dimiliki oleh kelompok dominan suku-budayanya, nasionalis liberal telah mau menerima ide bahwa identifikasi dengan banyak budaya dan komunitas adalah penting bagi identitas sosial seseorang. Mereka secara setara menjadi sensitif dengan isu trans-nasional, dan lebih bersedia merangkul sebagian perspektif kosmopolitan.

Nasionalisme liberal juga telah dibawa ke bagian muka yang lebih rendah hati, argumen dengan beban yang kurang filosofis atau metafisik berdasar kepentingan keadilan. Hal ini menekankan kepentingan praktis keanggotaan suku-budaya, bermacam hak untuk menebus ketidakadilan, hak demokratis asosiasi politik, dan peran yang suku-budaya ikatkan dan perserikatan bisa bermain dalam mendukung susunan sosial yang adil. Kulturalis liberal seperti Kymlicka telah mengusulkan versi pluralistik dan minimal nasionalisme yang dibangun di sekitar argumen semacam itu. Dalam versi minimal ini, rancang bangunan negara-bangsa klasik diperlunak atau diabaikan, dan digantikan dengan bentuk lebih sensitif identitas nasional yang bisa berkembang pesat di dalam masyarakat multikultural. Rancangan baru ini, tapinya, mungkin menuntut perluasan perspektif moral lebih jauh. Dari pengalaman di abad dua puluh, seseorang bisa dengan aman menduga bahwa negara budaya-plural terbagi menjadi sub-komunitas terisolasi dan tertutup yang melekat bersama hanya oleh rancangan modus vivendi semata yang sudah menjadi sifatnya tidak stabil. Maka dari itu stabilitas mungkin diperlukan sehingga masyarakat plural yang diimpikan oleh kulturalis liberal mendorong interaksi di dalam negara yang cukup intens antara kelompok budaya dalam rangka mencegah kecurigaan, mengurangi prasangka dan menciptakan dasar kokoh untuk hidup bersama. Pada sisi lain, seperti kita catat di atas yang berkaitan dengan isu keadilan teritorial, begitu keanggotaan di dalam budaya dan komunitas berganda diakui sah, kelompok sosial akan menyebar melampui perbatasan sebuah negara tunggal (contoh, kelompok yang terlilit oleh ikatan agama dan ras) begitu juga di dalam mereka, hingga menciptakan lubang bagi paling tidak perspektif kosmopolitan minimal. Dialektika internal mengenai identitas suku-budaya maka mungkin mengarah pada susunan politik pluralistik dan berpotensi kosmopolitan yang agak jauh dari apa yang nasionalisme klasik pahami.

Daftar Pustaka

Untuk melihat Daftar Pustaka silakan ke sini.


Diterjemahkan dari Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar